KOTA MALANG – malangpagi.com
“Pada awalnya, Kota Malang seperti pada umumnya kota-kota lain di Indonesia. Baru tumbuh dan berkembang setelah hadirnya pemerintah kolonial Belanda. Fasilitas umum direncanakan sedemikian rupa agar memenuhi kebutuhan keluarga Belanda,” papar anggota DPRD Kota Malang, Harvad Kurniawan, dalam Rapat Paripurna memperingati HUT ke-109 Kota Malang di Gedung DPRD Kota Malang, Jumat (31/3/2023.
“Hingga kesan diskriminatif itu masih berbekas hingga sekarang. Misalnya, Ijen Boulevard dan kawasan sekitarnya hanya dinikmati oleh keluarga-keluarga Belanda dan bangsa Eropa lainnya. Sementara penduduk pribumi harus puas tinggal di pinggiran dengan fasilitas kurang memadai,” lanjutnya.
Pada 1879, lanjut Harvad, di Malang mulai beroperasi kereta api, dan sejak itu Malang pun berkembang pesat. “Berbagai kebutuhan masyarakat semakin meningkat, terutama akan ruang gerak melakukan berbagai kegiatan. Akibatnya terjadinya perubahan tata guna tanah. Daerah bermunculan tanpa terkendali. Selain itu, perubahan fungsi lahan juga mengalami perubahan sangat pesat. Seperti fungsi pertanian menjadi perumahan dan industri,” bebernya.
Sejalan perkembangan tersebut, urbanisasi terus berlangsung dan kebutuhan masyarakat akan perumahan semakin meningkat. “Sementara tingkat ekonomi urbanis sangat terbatas. Hingga akhirnya muncul perumahan-perumahan liar yang berkembang di sekitar daerah perdagangan,” terang Harvad.
Perumahan liar juga timbul di sepanjang jalur hijau. Sekitar sungai, rel kereta api, dan lahan-lahan yang dianggap tak bertuan. “Selang beberapa lama kemudian, daerah tersebut menjadi perkampungan yang dibarengi degradasi kualitas lingkungan hidup, dan mulai terjadi dengan segala dampak bawaannya. Gejala itu terus meningkat dan sulit dibayangkan apa yang terjadi jika masalah itu diabaikan,” sebut Harvad.
Lebih lanjut Ia pun menceritakan sekilas sejarah pemerintahan Kota Malang. “Malang merupakan sebuah kerajaan yang berpusat di wilayah Dinoyo dengan Raja Gajayana. Kemudian pada 1767, kompeni memasuki kota, dan pada 1821 kedudukan Pemerintah Belanda dipusatkan di sekitar Kali Brantas,” jelasnya.
“Lalu pada 1824 Malang mempunyai Asisten Residen. Pada 1882, rumah-rumah di bagian barat kota didirikan dan alun-alun pun dibangun. Hingga pada 1 April 1914, Malang ditetapkan sebagai Kotapraja,” sambung politisi PDI Perjuangan itu.
Kemudian pada 8 Maret 1942, Malang diduduki oleh Jepang. Setelah itu, pada 21 September 1945, Malang masuk wilayah Republik Indonesia. Hingga pada 22 Juli 1947, Malang selanjutnya diduduki oleh Belanda.
“2 Maret 1947, Pemerintah Republik Indonesia kembali memasuki Kota Malang, dan sejak 1 Januari 2001 menjadi Pemerintah Kota Malang,” imbuh Harvad.
Banyak julukan yang disematkan untuk Kota Malang. Di antaranya Paris van East Java, disebabkan Kota Malang memiliki kondisi alam yang indah, dengan iklim sejuk dan kotanya yang bersih.
Kota Malang juga disebut sebagai Kota Pesiar karena kondisi alamnya yang elok, bersih, sejuk, tenang, dan memiliki fasilitas wisata memadai sebagai ciri-ciri kota tempat berlibur.
Satu lagi, Kota Malang juga mendapat julukan sebagai Kota Pendidikan. Hal ini dipicu situasi kota yang tenang, penduduknya ramah, serta ditunjang harga makanan yang murah, dan tentu saja fasilitas pendidikan yang memadai. Kondisi ini dianggap sangat cocok untuk belajar atau menempuh pendidikan. “Julukan lain untuk Kota Malang adalah Kota Bunga, Kota Militer, Kota Peristirahatan, dan Kota Sejarah. Di mana penyebutan tersebut memiliki nilai atau history tersendiri,” urai Harvad.
Kota Malang memiliki luas 110.06 kilometer persegi, dengan jumlah penduduk pada 2010 sebanyak 820.243 jiwa. “Masyarakat Kota Malang dikenal religius, dinamis, suka bekerja keras, lugas, dan bangga dengan identitasnya sebagai Arek Malang (Arema). Komposisi penduduk asli berasal dari berbagai etnis. Yaitu Jawa, Madura, dan sebagian kecil keturunan Arab dan Tionghoa,” papar politisi dapil Blimbing itu.
Agama masyarakat Kota Malang sebagian besar adalah Islam. Disusul Kristen, Katolik, dan sebagian kecil Hindu dan Budha. “Meskipun begitu, umat beragama di Kota Malang terkenal rukun dan saling bekerjasama dalam memajukan kotanya,” sebutnya.
Sedangkan dalam hal seni budaya, salah satu yang paling masyhur adalah Tari Topeng, dan bahasa Jawa dengan dialek timuran. Ada juga sebagian masyarakat Kota Malang yang menggunakan boso walikan yang unik, dengan cara pengucapan kata secara terbalik.
“Sedangkan untuk pendatang, sebagian besar adalah pedagang, pekerja, pelajar yang tidak menetap, dan dalam kurun waktu tertentu akan kembali ke daerah asalnya,” pungkas Harvad. (Har/MAS)