
KOTA MALANG – malangpagi.com
Banyak cerita sejarah di balik keberadaan taman kota Alun-Alun Bunder, atau lebih populer disebut Alun-Alun Tugu. Dibangun pada tahun 1920 oleh Pemerintahan Belanda, alun-Alun yang awalnya adalah ruang terbuka bernama Jan Pieterzoen Coenplein (JP Coenplein), sebagai penghormatan kepada salah satu Gubernur Jenderal Belanda.
Desain dasar dibuat oleh Herman Thomas Karsten yang menjadikan kawasan Alun-Alun Bunder sebagai kawasan bernuansa Eropa dengan citarasa vegetasi tropis.
Seiring perkembangan zaman, Alun-Alun Tugu yang berada tepat di depan Balaikota Malang direvitalisasi oleh Pemerintah Kota Malang melalui Dinas Lingkungan Hidup Kota Malang, yang dimulai pada 12 Juni 2023.
Ada hal yang menarik dari revitalisasi Alun-Alun Tugu ini. Pasalnya terdapat tiga balok batu andesit berukir tulisan. Yaitu tulisan ‘Oosterhuis Bapak Tongko’ disertai tanda Westerlee 1896 – Ambon 1943, ‘Malang in memory of’ dan ‘Johan Jan’, disertai tulis Kalabahi 1927 – Malang 1945 dan Tjimahi 1933 – Labuhan Bajo 2003.
Menurut pemerhati heritage Malang, Tjahjana Indra Kusuma, tulisan lain di bangku tersebut menandakan lokasi kelahiran dan kematian dari nama-nama tersebut. “Bapak Tongko Oosterhuis lahir di Westerlee (Scheemda, Belanda) pada 7 Oktober 1896 dan wafat pada 3 Desember 1943 di atas kapal yang berlabuh di perairan Teluk Ambon pada geladak kapal Nichinan Maru,” ungkap Indra kepada Malang Pagi, Sabtu (30/9/2023).
Lebih lanjut Indra mengisahkan, Tongko adalah seorang militer berpangkat Sersan, yang memulai kariernya pada 1921 di kesatuan tentara kolonial cadangan. “Penugasan pertamanya sebagai seorang KNIL (Koninklijk Naderlandsch – Indish Leger) ditempatkan di Kalabahi, Alor. Kemudian, pada 1925, Tongko menikah dengan Aletta Toepa, bumiputri beretnis Rote-Bilba, putri seorang Kepala Sekolah yang bertugas di Pulau Timor,” jelasnya.
Keluarga ini beberapa kali mutasi ke beberapa tempat. Yakni Waingapu (Sumba), Cimahi, Samarinda, hingga Malang. Tongko kemudian naik pangkat menjadi Letnan Infantri KNIL. “Di Malang, ia bertugas sebagai staf Batalyon Infantri VIII. Namun tak berselang lama, setelah tentara kolonial menyerah dan dilucuti tentara Jepang pada 9 Maret 1942, Tongko bersama rekannya diinternir sebagai tawanan perang di Kamp Interniran Divisi ke-3, dan selanjutnya ia dipindahkan ke Surabaya,” beber Indra.
Tongko Oosterhuis mengalami hari-hari yang menyedihkan. “Kondisi tidak manusiawi. Tawanan kelaparan karena gizi buruk dan tidak mendapatkan perawatan medis. Usai tawanan digabungkan dengan tawanan lain dari Batavia, mereka dipindahkan dan dipaksa untuk bekerja di tempat lain. Mereka diangkut dengan enam kapal yang berlabuh di Pelabuhan Tanjung Perak untuk dibawa ke Maluku dan Flores,” jelas Indra.
“Pada 18 April 1943, Tongko tergabung di kapal yang membawanya ke Seram. Saat rombongan turun, mereka harus bekerja paksa (romusha) di Amahei untuk membangun bandara. Setelah pembangunan selesai pada Oktober 1943, mereka dipindahkan ke Palao di Pulau Haruku,” imbuhnya.
Akibat kerja paksa, banyak terjadi kematian dan sakit parah pada tawanan perang. Hingga, pimpinan Jepang memutuskan mengembalikan mereka ke Jawa. “Tongko Oosterhuis termasuk yang menderita sakit parah. Sejak 2 Oktober 1943, dia menderita penyakit beri-beri serius. Ia pun rencana dipulangkan dengan naik kapal kecil SS ‘Nichinan Maru’. Namun dalam proses menunggu perjalanan, Tongko meninggal pada 3 Desember 1943 pukul 11.00 di atas geladak kapal tersebut karena disentri hebat, dan dimakamkan di darat oleh penduduk setempat. Sayangnya hingga kini makamnya belum ditemukan,” ungkap Indra.

Tak hanya itu, Indra juga menceritakan kisah tentang Johan yang namanya terukir pada salah satu bangku. “Johan memiliki nama lengkap Swier Johannes Oosterhuis, merupakan putra tertua pasangan Tongko Oosterhuis dan Alleta Toepa. Dia juga tidak selamat saat pendudukan Jepang berlangsung,” terang Indra.
“Johan bersama tiga temannya HBS ditangkap oleh Kempeitai (Polisi Militer Jepang) di rumah yang disewa empat keluarga, di Jalan Arjuno (Ardjunostraat No. 28) Malang. Mereka dicurigai melakukan aksi mata-mata atau spionase,” sambungnya.
“Mereka dihukum karena diduga memberi isyarat pada pesawat sekutu yang mengudara di langit Malang dengan menggunakan senter. Pada 25 Juni 1945, Ia meninggal di penjara Lowokwaru di usia 18 tahun, karena gizi buruk selama ditawan dan sakit beri-beri yang parah, yang sempat dilarikan ke rumah sakit terdekat,” sebut Indra.
Sementara itu, istri mendiang Tongko Oosterhuis, Aletta Toepa bersama enam anaknya pergi ke Belanda pada 1946. Pada 1973, Alleta meninggal di Heerenveen.
Adapun nama lain yang tertulis di bangku kenangan adalah Jan. “Nama lengkapnya Jan Oosterhuis. Lahir di Cimahi pada 1933, dan meninggal di Labuhan Bajo karena serangan jantung, saat berkunjung ke keluarga besarnya,” tutur Indra.
Untuk mengenang memori, keluarga dari Tongko Oosterhuis menempatkan bangku-bangku ergonomis, berupa tiga balok batu andesit di ruang publik Alun-Alun Tugu, atas izin Pemerintah Kota Malang pada 2016.
“Bangku tersebut dirancang oleh seorang arsitek Luiz Wilson dan Wim Oosterhuis, yang merupakan saudara dan anak keluarga Tonko Oosterhuis dan Aletta Toepa. Semoga keberadaan tiga bangku kenangan tersebut mendapat perhatian dan terpelihara dari dinas pembuat komitmen, pelaksana revitalisasi, dan pihak yang berkompeten,” pungkas Indra. (Har/MAS)