
KOTA MALANG – malangpagi.com
Tingginya intensitas hujan yang melanda Kota Malang dan sekitarnya dalam beberapa waktu terakhir, tak ayal menimbulkan banyak bencana alam seperti banjir, pohon tumbang, dan tanah longsor. Yang memilukan, tidak sedikit bangunan yang berada di sempadan sungai tergerus arus sungai dan hanyut bersama air.
Menyikapi kondisi ini, anggota Komisi D DPRD Kota Malang, Wanedi menegaskan perlunya aturan untuk merelokasi masyarakat yang tinggal di Daerah Aliran Sungai (DAS). Sempadan sungai seharusnya tidak diperbolehkan untuk bangunan dalam bentuk apapun.
“Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) nantinya, sempadan sungai adalah Ruang Terbuka Hijau (RTH). Jadi tidak ada toleransi untuk mendirikan bangunan, sehingga harus ada legalitas yang mengatur,” ungkap Wanedi, di acara talk show dengan tema “Bagaimana Solusinya, Kontroversi Kawasan Permukiman Stream DAS Brantas”, Senin (25/4/2022).
Pada acara yang diselenggarakan di Depot Flamboyan, Jalan Lawu No. 17 Malang itu, politisi PDI Perjuangan tersebut memandang bahwa permukiman di bantaran sungai merupakan permasalahan serius di Kota Malang, dan harus dipikirkan bersama-sama oleh Pemerintah Daerah, Provinsi, dan Pusat, serta harus menghilangkan ego sektoral.
“Ini petanya sudah jelas, sumber masalahnya juga jelas. Namun implementasinya kurang tegas. Bagaimana dan apa yang menjadi kelemahan dan ke depan seperti apa. Harus dicarikan solusi bareng-bareng, tanpa ada ego sektoral di dalamnya,” ujar Wanedi.

Keheranan menyelimuti Agustinus Tedja Bawana yang bertindak selaku moderator dalam acara yang diinisiasi Jaringan Kemanusiaan Jawa Timur (JKJT) itu. “Hal yang membuat saya heran dan tidak bisa ditolerir adalah, banyak masyarakat Kota Malang yang masih bertahan tinggal di bantaran sungai. Padahal sudah longsor dan tergerus. Jadinya nanti Pemerintah Kota yang disalahkan,” ujar Ayah Tedja, begitu pria berambut gondrong itu biasa disapa.
“Bahkan mereka sudah direlokasi ke rumah susun, malah rusun tersebut disewakan kepada pihak lain. Ini kan ironi. Lantas, bagaimana skema dan pola-pola smart untuk mengatasi permasalahan ini?” imbuhnya.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Wanedi menyebut bahwa permasalahan permukiman di DAS Brantas bukanlah perkara mudah, dan tidak dapat diselesaikan secara instan. “Peran legislatif cukup terbatas, meskipun legislatif adalah perangkat daerah. Fungsi dari DPRD adalah pengawasan dan penganggaran. Dari sana terbagi komisi-komisi. Maka dari situlah, kami dapat memetakan mitigasi bencana, termasuk penanganannya,” paparnya.
“Tentu nanti kami relokasi. Namun tidak mengubah secara sosial dan ekonomi, serta tidak mengubah sejarah atau lingkungannya. Jika mereka direlokasi tapi mengubah semuanya, maka akan membuat mereka kembali lagi ke permukiman yang lama,” sambung Wanedi.
Dirinya lantas menyarankan proses relokasi harus bersifat humanis, adil, dan bijaksana. “Mereka tinggal di bantaran sungai lantaran keterpaksaan. Karena kekurangan ekonomi, sumber daya manusia, dan sebagainya,” ucap Wanedi
Sementara itu, Direktur Utama Perum Jasa Tirta I, Raymond Valiant Ruritan mengatakan bahwa sungai di Kota Malang itu rentan. Pihaknya pun sudah melakukan koordinasi dengan Pemerintah Kota Malang, dan telah sepakat untuk memasang garis sempadan, patok, dan papan informasi. Sehingga masyarakat sadar mereka berada di wilayah rawan.
“Garis sempadan itu ditetapkan oleh Pemkot Malang bersama legislatif melalui Peraturan Daerah. Untuk relokasi ke tempat yang layak diperlukan anggaran yang mengatur itu. Tak kalah pentingnya, jangan ada penambahan bangunan di wilayah sempadan,” ujar Raymond.
Pria penggemar sejarah itu menerangkan, sebelum Perang Dunia II, daerah hulu Malang memiliki zonasi. Di bawah sumber Brantas ada perkebunan kopi dan terjadi perubahan hak guna. “Hak tanah berubah, sehingga orang mulai melakukan sertifikasi terhadap lahan yang dikelola. Maka munculah persoalan orang dapat menggunakan lahan,” beber Raymond.
Dijelaskannya, penguasaan lahan di sempadan Sungai Brantas terjadi secara bertahap, dan melibatkan berbagai peristiwa sosial dan ekonomi. “Melihat peta awal abad ke-20, misalnya daerah sempadan Sungai Brantas di kawasan yang saat ini dinamakan Jodipan dan Kampung Biru itu tidak ada. Kalaupun ada, pemukiman tidak berada di sempadan sungai,” jelasnya
Menurutnya, tahun 1940 baru muncul sebagian pemukiman yang menjadi cikal bakal Kampung Biru dan Kampung Warna-Warni. “Tapi terbatas sekali dan tidak masuk dengan palung sungai,” lanjut Raymond.
Ia pun menarik kesimpulan, penguasaan lahan dimulai dengan okupansi (permukiman), kemudian berkembang menjadi establishment, dan akhirnya penguasaan lahan secara yuridis formal. “Untuk meminta mereka pindah dari sempadan sungai, faktor kesulitannya terbesar adalah persoalan akses sosial dan ekonomi,” pungkas Raymond. (Har/MAS)