KOTA MALANG – malangpagi.com
Salam Satu Jiwa Arema tak hanya menjadi jargon suportek klub sepakbola kebanggaan warga Malang Raya saja, namun telah menjadi salam penyatuan segala perbedaan.
Perbedaan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat disikapi sebagai sebuah keniscayaan atas realita keragaman dan sosiokultural. “Beda boleh-boleh saja. Namun secara keseluruhan dijiwai oleh jiwa yang sama. Seperti yang tergambar pada salam arek-arek Malang, yakni Salam Satu Jiwa Arema,” ucap sejarawan Kota Malang, Dwi Cahyono, saat menjadi pemateri dalam acara Pemantapan Pembauran Kebangsaan di Hotel Ijen Suite Resort and Convention, Selasa (22/3/2022).
“Di Malang Raya, toleransi sudah final. Oleh karena itu, Malang adalah Kota Toleran, bukan Kota Intoleran. Itu prinsip,” jelasnya Ki Dwi, sapaan arkeolog itu.
Lebih lanjut dirinya memaparkan, Malang merupakan sebuah kota perjumpaan dan pluralitas sosiobudaya, yang menampilkan sosok daerah bersejarah. Di mana masyarakat dan budaya yang ada di dalamnya begitu beragam.
“Pluralitas merupakan jati diri Kota Malang dengan karakter yang unik, karena secara geografis Malang Raya terletak di daerah pedalaman. Berada di lingkungan gunung yang diiris-iris banyak sungai. tetapi faktanya, dari waktu ke waktu gelombang migrasi sosial masuk, yang pada akhirnya imigran menetap di Malang dengan membawa serta budayanya,” papar Ki Dwi.
Dirinya menerangkan, kesejarahan Malang bercirikan pluralitas sosiokultural sudah ada sejak masa Hindu–Budha, perkembangan Islam, masa kolonial, dan masa kemerdekaan hingga sekarang. “Dengan demikian, Malang diwarnai oleh budaya luar yang masuk secara bergelombang dalam lintas masa,” tuturnya.
Ki Dwi menyebut, berdasarkan sumber data prasasti, terdapat apa yang disebut ‘warga kilalan’. Yaitu warga mancanegara yang berada di daerah Malang sekarang. Baik yang berasal dari India, China, dan Parsi (Persia). Tidak hanya itu, pendatang dari daerah lain di Indonesia juga tidak sedikit yang datang dan menetap di Malang.
“Warga dari daerah lain juga banyak yang menetap di Malang. Seperti tergambar dalam toponimi kampung, seperti Kampung Maduran dari sub etnik Madura, Kampung Kudusan merupakan perantauan dari Kudus, ada pula Kampung Kebalen sebagai kampung yang diisi perantauan dari Bali, dan sebagainya,” bebernya.
Pria yang pernah menjabat sebagai anggota Tim Ahli Cagar Budaya itu mengatakan, para migran yang tinggal di sub area yang sama menciptakan klaster sosiokultural berlatar keetnikan.
“Kecenderungan tinggal mengumpul sesama etnik ini kian diperkuat pada era Hindia Belanda, yang menerapkan sosiopolitik. Segresi politik yang menjadi latar adanya Kampung Cina (Pecinan Besar dan Kecil), Kampung Arab di area Kidul Dalem, permukiman India perantauan di Jagalan dengan area tinggal pada Burgenbuurt,” terang penyuka kopi itu.
Dari realita tersebut, menurut Ki Dwi, Malang benar-benar menggambarkan sebagai sebuah Kota Perjumpaan (Encounter City) dari beragam budaya antardaerah, antaretnik, bahkan antarnegeri.
“Warga Malang semenjak lama membuka pintu daerahnya bagi segenap pendatang lain, dan tidak merasa fobia untuk menerima warga luar yang berbeda sosiokulturalnya. Syaratnya harus berprinsip pada peribahasa ‘di mana bumi dipijak, disitu langit dijunjung’. Artinya harus menaati aturan yang sudah ada,” jelasnya.
Malang yang diibaratkan sebagai miniatur kebhinnekaan dapat dijadikan pilot project dalam pembentukan sikap dan perilaku toleran pada generasi muda, baik pelajar maupun mahasiswa.
“Generasi muda yang bertoleransi adalah aset bangsa di masa depan. Oleh karena itu, penting untuk membudayakan sikap dan tindakan toleran pada generasi muda. Sehingga Malang sebagai Kota Toleran akan terwujud sepanjang masa,” tutup Ki Dwi. (Har/MAS)