KOTA MALANG – malangpagi.com
Indikasi penyebaran pemahaman anti-Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan keinginan mengubah ideologi Pancasila di beberapa kampus maupun media sosial kian merebak. Banyak modus yang telah dilakukan dengan menyusup di dalam kampus.
“Antara lain melalui Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Harmoni Amal Titian Ilmu (HATI) di ITB Bandung, Badan Kerohanian Islam Mahasiswa (BKM) di IPB Bogor, Gema Pembebasan yang tersebar di beberapa universitas, dan hal paling mengejutkan keterlibatan sejumlah dosen universitas negeri dan swasta menjadi anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI),” beber Kasubdit Kontra Naratif Direktorat Pencegahan Densus 88 Polri, Mayndra Eka Wardhana, saat memberi materi Intoleransi, Radikalisme, dan Terorisme di Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Hikam, Sabtu (19/2/2022).
Dirinya mengungkapkan, berdasarkan hasil penelitian tentang radikalisme mahasiswa yang dilakukan oleh Badan Intelijen Negara, sebanyak 39 persen mahasiswa di sejumlah perguruan tinggi terpapar paham radikal. Sedangkan 24 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar SMA setuju dengan jihad untuk tegaknya negara Islam.
“Dalam riset oleh Alvara Research Center pada Oktober 2017, dengan jumlah responden 1.800 mahasiswa yang tersebar di 25 Universitas di Indonesia, menyebut sebanyak 23,5 persen mendukung gerakan ISIS. Sebanyak 17,8 persen memandang bentuk pemerintahan yang ideal adalah khilafah. Itu artinya mahasiswa sebagai golongan muda masih rentan dicekoki paham radikalisme,” papar Mayndra.
Menurutnya, sikap intoleran membawa kita pada sifat eksklusif, merasa diri sendiri benar dan orang lain salah. Radikalisme merupakan pemikiran atau ideologi yang memiliki kecenderungan ingin mengganti bentuk negara dan pemerintahan yang sah.
“Ini yang harus diwaspadai. Karena semenjak teroris Parawijanto memimpin Jemaah Islamiyah (JI) dengan faham Strata JI di 2017, perekrutan kader secara terbuka dan berbanding terbalik saat JI dipimpin oleh Abdullah Sungkar maupun Abu Bakar Ba’asyir yang secara diam-diam,” tukasnya.
Dalam gelaran yang dilaksanakan secara hybrid itu, dijelaskan bahwa rekrutmen teroris linier dengan masifnya gerakan radikalisme yang marak di berbagai kampus sudah terendus sejak 2010 melalui media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, hingga Tiktok.
“Era 2010–2013, Jihad Fardiyah mulai menggunakan smartphone. Tercatat 3.400 anak muda dari negara barat berhasil direkrut ISIS melalui media sosial. Dari keseluruhan, seperenamnya adalah perempuan,” terangnya.
Pernyataan selaras disampaikan Direktur Eksekutif Jaringan Muslim Madani, Syukron Jamal, yang mengatakan bahwa di era digital saat ini, media sosial menjadi alat penyebaran radikalisme.
“Indonesia yang lahir dan berdiri dengan ideologi Pancasila sekarang banyak diacak-acak oleh pemikiran radikalisme, ekstremisme, intoleransi, dan terorisme yang dapat mengancam keutuhan dan keberlangsungan bangsa dan penyebarannya melalui media sosial,” tuturnya.
Menurut Syukron, santri merupakan garda terdepan dalam mengampanyekan Islam moderat, untuk melawan gerakan atau paham intoleransi, radikalisme, ekstremisme, serta terorisme.
“Radikalisme menjadi embrio lahirnya ektremisme bahkan terorisme. Untuk itu dibutuhkan peran dan perhatian semua pihak dalam menangkal ancaman yang dapat merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara,” tegas Syukron.
Pernyataan kedua pembicara tersebut diamini oleh mantan narapidana terorisme, Handi Suhartono, yang mengungkapkan bahwa media sosial sangat berpengaruh dalam perekrutan teroris.
“Bahkan mereka belajar tidak harus bertemu dengan mentornya, tetapi mereka belajar sendiri melalui video-video yang tersebar melalui media sosial,” ujar Handi.
Handi mengingatkan agar kita waspada dengan derasnya arus informasi, serta harus mengontrol diri dengan batasan-batasan dalam penggunaan media sosial.
“Perekrutan sekarang secara terang-terangan. Artinya sangat masif dan terstruktur dan mempengaruhi pola pikir kita. Kesalahan ini juga yang pernah saya alami. Waktu, tempat, dan pemikiran yang salah,” pungkas Handi. (Har/MAS)