KOTA MALANG – malangpagi.com
Sastrawan Sindhunata, atau karib disebut Romo Sindhu, kembali menghadirkan kisah Si Anak Bajang. Setelah 40 tahun lalu sukses dengan novelnya berjudul Anak Bajang Menggiring Angin, kini, pria dengan nama lengkap Dr. Gabriel Possenti Sindhunata tersebut menerbitkan novel Anak Bajang Mengayun Bulan, yang disebutnya sebagai refleksi hitam dan putih, alias baik dan buruk dalam kehidupan.
“Novel ini bercerita tentang kisah dua bersaudara, Sumantri dan Sukrasana. Di mana yang satu memiliki tampan, dan yang satunya jelek. Saya menyusun sedemikian rupa, bahwa dalam hidup ada baik dan buruk. Dan manusia harus menerima dari keduanya,” ungkap Romo Sindhu kepada Malang Pagi, usai menghadiri launching buku Anak Bajang Mengayun Bulan, yang digelar di Rumah Dialektika Malang, Jalan Sumbing No. 11 Kota Malang, Sabtu (21/5/2022).
“Perbedaan mencolok bagai bumi dan langit pada tokoh Sumantri dan Sukrasana, hingga memunculkan berbagai konflik batin di antara keduanya. Ada kekuasaan, ambisi, termasuk nafsu dan cinta. Juga tentang pertentangan nasib serta cita-cita. Bagaimana sesuatu yang buruk dibutuhkan oleh yang baik, supaya yang baik itu menjadi sempurna” jelasnya.
Romo Sindhu mampu mengeksplorasikan cerita fiksi yang diadopsi dari kisah pewayangan tersebut dengan begitu apik dan dalam. Gaya bahasa sastrawi penuh metafora dan kekuatan, serta menelurkan kekayaan bahasa yang menjadi satu ciri khas dalam novel setebal 556 halaman itu.
Di tempat yang sama, sastrawan Kota Malang, Fathul Pranatapraja yang turut menjadi pembicara memberikan apresiasi. Pria berambut gondrong ini menyebut Romo Sindhu memiliki berjuta kosakata, dan mampu menghidupkan waktu. Di mana waktu yang sudah lampau dapat dikaitkan dengan kondisi sekarang, sehingga dapat dihidupkan kembali.
“Karya dari Romo Sindhu memiliki perbendaharaan kata yang jamak. Bagaimana bisa satu kata dengan banyak istilah. Terkesan mbulet memang. Tetapi dengan kembuletan ini lebih memperkaya perspektif dari kamar-kamar pembaca,” urainya.
Pengurus Dewan Kesenian Malang itu melihat karya Romo Sindhu sebagai spirit dalam ‘laku’ membumi. “Dalam kisah Anak Bajang Mengayun Bulan ini juga bercerita tentang jiwa patriotisme. Dan menurut saya, adalah spirit laku yang bisa diaplikasikan. Ada kisah percintaan, sedikit vulgar, namun tidak nakal,” papar Sekretaris Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia) tersebut.
Menanggapi hal tersebut, Romo Sindhu menuturkan bahwa kebudayaan merupakan satu kesinambungan. Bahasa Jawa Kuno memiliki kekayaan yang luar biasa. Dirinya pun menegaskan bahwa budaya nusantara itu bukanlah omong kosong. “Saya makin sadar, bahwa saya bukan siapa-siapa. Alam nusantara yang memakai dan menuntun. Saya tidak bisa mengklaim bahwa itu adalah saya,” ucapnya merendah.
Budayawan sekaligus wartawan itu membeberkan, bahwa menulis merupakan bagian dari lelaku, di mana di dalamnya terdapat pergulatan batin. Tidak sekadar menulis, namun harus dimaknai secara mendalam.
Ia pun mengisahkan, buku Anak Bajang Mengayun Bulan baru rampung setelah menempuh proses selama 13 tahun. “Moga-moga buku ini lahir dari pergulatan itu. Tidak mudah memang. Seperti pula lelaku yang dilakukan oleh maestro budaya, bagaimana mereka totalitas dalam menghasilkan karya,” beber Romo Sindhu.
Ia pun berpesan kepada generasi muda, yang saat ini lebih akrab dengan gawai dan mendapatkan informasi sepotong-sepotong, untuk mau dan serius dengan tetap membaca sesuatu yang berat dan mendalam, sehingga dapat mengisi hidup.
Acara launching buku ini juga menampilkan performa dari Winarto Ekram, seorang seniman tari yang mampu menghipnotis para undangan yang hadir melalui tarian topeng bertema hitam putih. (Har/MAS)