KOTA MALANG – malangpagi.com
Ketua DPRD Kota Malang I Made Rian Diana Kartika memberikan apresiasi dalam gelaran wayang kulit di Celaket yang digelar di Jalan Tampaksiring 53 Kelurahan Samaan Kecamatan Klojen Kota Malang. Kamis (11/8/2022).
Made sapaan karib politisi dari PDI Perjuangan ini meluangkan waktunya secara khusus untuk menghadiri pertunjukan wayang dengan tema Manusuk Sima Samudra Mantana dengan dalang Ki Ardhi Purbo Antono.
Mengenakan baju khas Bali, Made mengikuti proses mulai dari Kirab Pusaka dan Gunungan hingga pertunjukan wayang kulit. “Ini bagian dari melestarikan budaya dalam menyambut satu suro. Saya sangat mengapresiasi kegiatan masyarakat yang mandiri artinya tanpa melibatkan peran pemerintah. Ini murni apa yang dilakukan oleh Ki Jati Supriyanto patut kita apresiasi dan saya dari awal memang menyempatkan untuk hadir di sini sebagai bentuk dukungan,” ungkap Made kepada Malang Pagi.
“Semoga lebih banyak lagi orang-orang seperti Ki Jati Supriyanto yang peduli pada budaya asli bangsa,” imbuhnya.
Kedatangan Made dalam gelaran wayang kulit ini memang sengaja untuk memberikan dukungan. Selain itu sebagai wakil rakyat dirinya ingin bertemu dengan masyarakat sekitar.
“Ternyata pertunjukan wayang kulit ini masih banyak diminati oleh masyarakat Kota Malang. Jadi dari sini kelihatan bahwa budaya asli bangsa itu kan sebenarnya salah satunya intisari dari Pancasila itu, karena gotong-royong. Kita harapkan dengan gelaran seperti ini akan ada komunikasi yang baik antar elemen bertemu dan kita mendengar petuah-petuah dari dalang,” ucap Made.
Menurut Made, sebenarnya apa yang tersurat dalam pertunjukan wayang kulit adalah ajaran-ajaran dari leluhur yang patut kita teruskan. Melalui gelaran ini, nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika juga dijunjung tinggi pasalnya dalam satu pagelaran memiliki banyak momentum namun tetap satu tujuan. “Jadi, pertunjukan wayang kulit ini, selain untuk peringatan 1 Suro untuk masyarakat Jawa juga untuk memperingati 1 Muharram bagi umat Islam dan juga memperingati Tahun Baru Saka juga kaitannya dengan peringatan 17 Agustus. Kita harapkan acara ini sukses dan dapat menghibur masyarakat,” terangnya.
Kedepan, dirinya berharap kegiatan seperti ini agar kerap dilaksanakan agar orang tidak lupa. “Jangan sampai budaya diakui oleh orang luar baru kita binggung. Mumpung wayang ini masih diminati oleh masyarakat, maka sesering mungkin harus kita tampilkan supaya tahu budaya asli Indonesia,” jelas Made.
Tak kalah pentingnya, melalui wayang kulit ini akan menumbuhkan nasionalisme karena begitu dengan menyadari kesenian yang luar biasa seperti ini sudah pasti akan menimbulkan rasa cinta tanah air. “Bahwa Bangsa Indonesia kaya akan budaya. Jika kesadaran itu muncul, maka rasa cinta pada tanah air juga akan tumbuh. Dan dari wayang ini nilai-nilai nasionalisme akan terus bangkit dan tumbuh,” tutur Made.
Pendapat senada disampaikan pelaksana kegiatan, Ki Jati Supriyanto. Menurut Mbah Pri sapaan karibnya. Gelaran wayang ini titiknya adalah nasionalisme. “Gelaran wayang kulit ini titiknya memang adalah nasionalisme karena ajining diri saka lati lan ajinining raga saka busana dan ajining bangsa saka budaya. Dengan budaya ini akan menumbuhkan nasionalisme,” tegasnya.
Mbah Pri mengatakan bahwa wayang kulit ini adalah rangkaian larung kepala kerbau yang dilaksanakan beberapa hari yang lalu di Pantai Ngliyep. “Jadi, pertunjukan wayang kulit ini merupakan bagian dari larung kepala kerbau yang dibuang ke laut yang selanjutnya dimakan oleh hewan-hewan kecil sehingga hewan-hewan kecil dapat tumbuh subur sehingga nelayan ikan bisa panen. Filosofinya seperti itu,” ujarnya.
Dirinya menyebut bahwa pada intinya larung kepala kerbau adalah rasa syukur dimana kita telah diberi keselamatan jiwa dan saat pagebluk kita masih diberi umur panjang dan rezeki. “Jadi larung kepala kerbau untuk wilujengan dan tuntunan adalah adanya pagelaran wayang ini dengan mengambil tema Arjuna Wiwaha perang suci dimana Sang Arjuna bertapa akhirnya menemukan istri putra dari sang dewa yang sangat cantik. Tidak hanya cantik secara fisik namun juga cantik kepribadiannya. Mudah-mudahan kesucian ini membawa keberkahan untuk Nusantara,” jelasnya.
Menurut Mbah Pri, tema Manusuk Sima Samudra Mantana yang diusung merupakan suatu penghormatan yang luar biasa terhadap desa Sima atas peletakan batu pertama suatu candi. Candi itu merupakan gugusan Nusantara dan Mahameru telah diboyong oleh resi kura-kura yang diikat di bawah ekor naga sentosa sehingga Nusantara ini akan menjadi tegak dan menjadi sesembahannya sewu negoro.
“Tentunya tidak semudah itu, namun melalui proses yang luar biasa yaitu goncangan, terjadi permasalahan besar dunia. Salah satunya perang dunia geger yang pada akhirnya muncullah Satrio piningit di Jawa dan nantinya Nusantara akan menjadi objek pengaduan negara dan semua negara tunduk pada Nusantara seperti masa Singasari dan Majapahit,” pungkas Mbah Pri. (Har/YD)