KOTA MALANG – malangpagi.com
Menjelang Ramadan, Kampung Budaya Polowijen (KBP) kembali mengadakan tradisi Megengan dan Nyadran, yang dilaksanakan pada Rabu (22/3/2023).
Pegiat Kampung Budaya Polowijen sekaligus anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Malang, Isa Wahyudi mengatakan bahwa Megengan merupakan tradisi masyarakat Jawa dalam menyambut bulan puasa. “Jadi Megengan ini berasal dari kata megeng, berarti menahan dari segala nafsu yang menggugurkan ibadah puasa,” ucap pria yang akrab disapa Ki Demang itu.
Pada umumnya, terang Ki Demang, Megengan yang berkembang di masyarakat Jawa menyajikan hidangan apem dan pisang raja. “Apem berasal dari kata afwan, serapan bahasa Arab yang berarti memaafkan. Ada pula pisang raja, yang bila digabungkan menggambarkan seperti payung. Harapannya dapat memberi perlindungan dan saling memaafkan di bulan puasa. Sehingga umat Islam dapat menjalankan ibadah puasa dan dijauhkan dari godaan,” urainya.
Dikatakannya, apem dan pisang raja memang identik dengan Megengan. Hal ini bermula dari ajaran Sunan Kalijaga yang kemudian dilaksanakan oleh Ki Ageng Gribig dalam menyebarkan ajaran Islam di Jawa Selatan. “Dari Ki Ageng Gribing ini diketahui bahwa apem dibagikan kepada masyarakat menjelang bulan puasa. Selain karena artinya tadi permintaan maaf, juga waktu itu apem adalah logistik yang paling mudah dibuat dan dapat dimakan orang banyak,” jelas Ki Demang.
“Dalam perkembangannya, acara ini biasa diadakan di musala atau langgar, tetapi ada juga sebagian masyarakat yang mengantarkannya ke tetangga atau saudara. Ini istilahnya ater-ater,” terangnya.
Sebagai kampung yang dianugerahi sebagai Kampung Pelestari dan Pemanfaatan Budaya, maka Kampung Budaya Polowijen merasa berkepentingan untuk mengembalikan gerakan masyarakat dalam melestarikan adat istiadat.
“Bahwa Megengan itu coba dikembalikan seperti dulu pada umumnya. Dengan pakaian adat tradisional Jawa disertai doa-doa Jawa. Megengan menjadi salah satu cara untuk merekatkan kembali masyarakat sekitar atau pegiat seni budaya. Ini adalah acara Megengan di Kampung Budaya Polowijen,” sebut Ki Demang.
Selain apem dan pisang raja, Tradisi Megengan di KBP juga menyajikan Tumpeng Tiga Warna yang memiliki makna. “Tumpeng Agung adalah ungkapan Keagungan. Ada Tumpeng Punar yang bewarna kuning melambangkan rasa syukur dan kegembiraan. Ada ula Tumpeng Kapuranto yang berwarna biru sebagai simbol atau media permintaan maaf dari pembuat kepada orang yang diberi,” jelas Ki Demang
Megengan di Kampung Budaya Polowijen juga dilengkapi tradisi Nyadran ke Makam Ki Tjondro Suwono (Mbah Reni) Sang Mpu Topeng. “Nyadran ke Makam dalam rangka mendoakan leluhur sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan dan mengingatkan tentang dari mana manusia berasal dan kembali,” tuturnya.
Menurut Ki Demang, Megengan dan Nyadran ini merupakan obyek pemajuan kebudayaan dalam bentuk adat-istiadat dan ritus yang harus terus dilestarikan. “Keunikan dari Megengan dan Nyadran di Kampung Budaya Polowijen ini adalag semua perempuan yang hadir bersanggul dan memakai kebaya,” tandasnya.
Megengan dan Nyadran di Kampung Budaya Polowijen sarat dengan nuansa tradisi. Mulai tempat, hidangan, hingga busana. Acara diawali dengan melantunkan tembang Macapat, dilanjutkan dengan berdoa bersama yang dipimpin oleh Ki Demang. Kemudian ada penampilan Tari Sadran dari Sanggar Tari Danendar pimpinan Endar Zulaifah. (Har/MAS)