
KOTA MALANG – malangpagi.com
Malang Raya kaya akan sumber mata air yang dilindungi oleh gunung-gunung. Namun, keberadaan sumber mata air ini semakin berkurang karena berbagai faktor meliputi perubahan tata guna lahan, perubahan pemanfaatan, adanya pencemaran, perubahan tutupan baik itu karena aktivitas manusia maupun vegetasi.
Sebagai bentuk konservasi air dalam menjaga kelestarian air di tengah masyarakat. Sutradara Subiyanto menggabungkan folklor atau cerita rakyat yang dituangkan dalam film dokumenter berjudul Tirta Carita yang rencananya akan dilaunching Sabtu, (20/05/2023) mendatang.
Dalam film tersebut, Direktur Utama Perum Jasa Tirta I Raymond Valiant Ruritan mengatakan Malang Raya berada di dataran tinggi dan berada di hulu aliran Sungai Brantas. “Dan air yang kita peroleh ini berasal dari dua sumber pokok yaitu air tanah yang keluar dalam bentuk mata air dan air permukaan yang mengalir di sungai,” terang Raymond dalam Uji Petik Tirta Carita di Alfa X, Jalan Jakarta Dalam Kota Malang. Sabtu (06/05/2023).
Dikatakannya, air ini dipakai oleh masyarakat adalah air yang diambil dari dalam tanah. Baik melalui sumur, mata air atau sumber. “Kota Malang 70 persen pemakai airnya diperoleh dari air yang dilayani oleh PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) yang umumnya mengambil dari sumber. Sedangkan, 30 persen lainnya berasal dari sumur atau sumber lainnya. Jadi bisa dikatakan untuk Kota Malang 100 persen untuk pemakaiannya berasal dari air tanah,” urainya.

Menurutnya, pelestarian air yang dikemas dalam folklore merupakan metode untuk menarasikan sesuatu dalam kerangka yang tidak bersifat metodologis-ilmiah, namun berkaitan dengan ranah kepercayaan (belief) di dalam masyarakat. “Untuk urusan air, penggunaan folklore ini tujuannya memperkuat hegemoni pemaknaan,” tutur pecinta sejarah ini.
Raymond juga mengemukakan pesan yang ingin disampaikan dalam film dokumenter tersebut adalah pemahaman atas air bersifat multisektoral dan fragmentatif.
Sementara itu, Nur Elfianita Susanti sebagai narasumber dalam film dokumenter tersebut memaparkan tentang sumber mata air dalam sisi cerita rakyat atau folklor. “Sumber mata air di Kota Malang memiliki ciri khas yaitu dekat dengan peninggalan-peninggalan kuno yang mengidentifikasikan petirtaan kuno. Oleh karena fungsinya yang sangat vital masyarakat mensakralkan sumber-sumber mata air tersebut,” terang Fani sapaan dara berkacamata ini.
Diceritakan, mata air Wendit merupakan salah satu petirtaan kuno di Malang Raya. “Identik dengan folklor Widodaren yaitu tradisi yang berasal dari masyarakat Tengger,” ujarnya.
Kemudian di daerah Lawang ada sumber mata air Polaman yang memiliki debit air yang besar dengan adanya tandon yang didirikan pada tahun 1900, 1925 dan 1935. “Folklor tentang sumber mata air Polaman ini ditemukan oleh salah satu tokoh bernama Polaman. Sumber mata air ini pernah disinggahi oleh Hayam Wuruk dalam perjalanannya,” tuturnya.
Lalu, folklore Candi Songgoriti yang menceritakan tentang seorang tokoh bernama Mpu Supo yang sedang mencari Keris Kyai Sengkelat dan singgah ke Candi Songgoriti untuk membuat keris di sana. Folklor tersebut membuat Candi Songgoriti disebut juga sebagai Candi Supo,” terang Fani.
Menurutnya, keberadaan folklor di sumber mata air ini memunculkan tradisi yang dikenal sebagai tempat yang sakral, wingit, angker sebagai konservasi mata air oleh masyarakat tradisional. “Jika ritual dalam pelestarian air tidak dilakukan bisa dipastikan kelestarian dapat terancam,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Guru Besar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang, Prof. DJoko Saryono yang mengatakan bahwa terpenting di dalam folklor itu ada pewarisnya. Apapun bentuknya, baik lisan, setengah lisan maupun bukan lisan itu disebut folklor lisan karena pewarisnya dari mulut ke mulut. “Fungsi yang paling menonjol adalah untuk menjaga kohesi-kohesi sosial. Jadi, folklor itu bisa disebut pemertahanan tradisi untuk layar proteksi atau imaji masyarakat agar terus terpandu ke arah cita-cita itu,” terangnya.
Disebutkannya, folklor menengok ke masa lalu karena di dalam masa lalu mengandung nilai-nilai atau makna yang relevan dengan masa kini. “Di situ saya kira folklor sebagai satu tambang nilai, tambang makna, tambang proteksi manusia agar tidak kehilangan arah,” beber Prof. Djoko Saryono.
Kemudian, Latifah selaku Pimpinan Produser Film Dokumenter Tirta Carita menyampaikan tujuan dan sasaran film dokumenter merupakan program buku dan film dan outputnya Dana Indosiana. “Kita masuk dalam kategori Objek Pemajuan Kebudayaan untuk pendokumentasian khasanah lokal daerah. Folklore ini yang saya rasa perlu diangkat dari sisi ekologis. Jadi ada pentingnya. Ini bukan cerita tentang masa lalu yang perlu kita ingat-ingat,” ujar Latifa.
Dipilihnya mata air dalam film tersebut karena mata air adalah sumber kehidupan. “Jadi air itu sangat esensial untuk kehidupan. Air itu bukan hanya materialnya saja namun ada aspek lain di situ. Ada sosiologi dan budaya,” tuturnya.
Selain itu, dipilihnya sendang karena di Malang Raya ini ada beberapa sendang yang memasuki masa kritis, ada yang kondisinya hampir mati karena eksploitasi. “Kalau kondisi folklore di masing-masing sendang itu berbeda. Ada yang masih lestari, ada yang sudah tidak lestari. Ada 7 sumber dari film tersebut yaitu Sumber Mata Air Songgoriti, Wendit, Polaman, Alur, Sareh, Sumberjo, Tlogosari dan Bejisari. Dari segi tradisi kita wakili satu per satu,” pungkas Latifah. (Har/YD)