MALANG – malangpagi.com
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menggelar Konferensi Internasional Reformasi Hukum ke-5 (INCLAR) 2024, bertajuk “Mendefinisikan Ulang Nilai-Nilai Kemanusiaan sebagai Dasar Pemikiran Hukum: Tantangan di Era Disrupsi”, bertempat di Rayz Hotel UMM, Selasa (23/7/2024).
Penyelenggaraan konferensi tersebut turut melibatkan delapan perguruan tinggi hukum yang ada di Indonesia, diantaranya Universitas Muria Kudus, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Adhyaksa, Universitas Katolik Soegijapranata, Universitas Muhammadiyah Aceh, Universitas Islam Lamongan, Universitas Hang Tuah, Universitas Trunojoyo Madura, dan Universitas Ngurah Rai.
Dekan Fakultas Hukum UMM, Prof. Dr. Tongat, S.H., M.Hum., mengatakan bahwa acara ini menjadi platform penting untuk berbagi ide, pengetahuan, dan temuan penelitian yang berfokus pada nilai-nilai kemanusiaan sebagai dasar pemikiran hukum, terutama di era disrupsi yang penuh tantangan ini.
Menurutnya, era disrupsi telah membawa perubahan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk bidang hukum.
“Jadi kita butuh untuk melakukan redefinisi terhadap nilai-nilai kemanusiaan dalam melakukan transformasi hukum. Karena hukum itu pada dasarnya diciptakan untuk manusia. Sehingga, hukum memang perkembangannya itu harus sejalan dengan perkembangan manusia dan dinamika masyarakat itu sendiri,” ujarnya.
Dalam konferensi tersebut, pihaknya juga turut mengundang sejumlah pemateri internasional, diantaranya dari Deakin University Australia, Associate Profesor at Maastricht University Belanda, William and Mary Law School USA, dan Dean Fakulti Undang-Undang Universiti Kebangsaan Malaysia.
“Ada empat speaker internasional yang datang di event ini, sehingga kita bisa berdiskusi untuk memastikan bahwa setiap perkembangan hukum di berbagai belahan dunia itu bisa terkomunikasikan secara baik kepada kita semua,” jelasnya.
Lebih lanjut, terkait ramainya kasus salah tangkap yang terjadi, Prof Tongat menerangkan bahwa redefinisi nilai-nilai kemanusiaan sebagai dasar pemikiran hukum ini penting dilakukan untuk basis membangun hukum yang benar benar berkeadilan.
“Saya kira tidak terlepas dari fenomena-fenomena yang ada sekarang ya, misalnya kasus Vina, kasus Afif, dan sebagainya. Memang itulah pentingnya kita melakukan redefinisi ulang terhadap nilai-nilai kemanusiaan sebagai basis di dalam kita membangun hukum,” terangnya.
“Hukum itu dibuat untuk mengabdi dan melayani kepentingan manusia. Jika kita membuat hukum tetapi tidak bisa mengabdi pada kepentingan manusia, malah justru mensengsarakan manusia seperti halnya fenomena-fenomena yang kita lihat, ini justru kontraproduktif,” imbuhnya.
Tak hanya itu, terkait maraknya slogan ‘No Viral No Justice’ di media sosial, dirinya menyampaikan bahwa pada prinsipnya siapapun harus memperlakukan sama di hadapan hukum.
“Jadi tidak boleh diskriminatif dan tidak boleh dibeda bedakan. Hukum harus bisa memberikan jaminan keadilan kepada setiap orang dimanapun dan siapapun itu. Equality before the law,” tegasnya.
Oleh karena itu, dirinya berharap dapat mendorong diskusi yang mendalam dan inovatif untuk merumuskan strategi hukum yang dapat menjawab tantangan-tantangan tersebut.
“Transformasi hukum yang berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan diharapkan dapat menciptakan sistem hukum yang adil dan berkelanjutan. Semoga konfrensi ini menjadi momen yang bermakna bagi kita semua untuk terus berinovasi dan berkontribusi dalam pengembangan sistem hukum yang lebih baik dan lebih adil,” pungkasnya. (YD)