
MALANG – malangpagi.com
Dibangun dengan anggaran ratusan miliar, diresmikan Presiden Joko Widodo, dan mendapat pujian dari berbagai kementerian sebagai percontohan nasional pengelolaan sampah, TPA Supit Urang Kota Malang ternyata menyimpan ironi yang tak kunjung terselesaikan.
Di balik kemegahannya, ada jeritan warga tiga desa di Kabupaten Malang, yakni Jedong, Pandanlandung, dan Dalisodo yang bertahun-tahun merasakan dampak buruk keberadaan TPA tersebut.
Ketiga desa yang secara geografis berada tepat di sekitar TPA Supit Urang, menghadapi berbagai persoalan serius diantaranya, bau menyengat, pencemaran air, hingga gangguan kesehatan.
Kepala Desa Jedong, Tekat Pribadi, bahkan melukiskan penderitaan warganya dengan filosofi Jawa.
“Kalau pohon pisang tumbuh miring ke pekarangan tetangga, maka buahnya boleh diambil tetangga. Tapi kalau yang tumbuh itu sampah, maka yang kami rasakan hanyalah lindi, lalat, dan penyakit,” ujar Tekat dalam forum audiensi yang digelar di TPA Supit Urang, Rabu (21/5/2025).
Aspirasi warga terdampak sesungguhnya sudah lama disuarakan. Namun, berkali-kali forum musyawarah hanya berakhir pada janji tanpa realisasi. Kendala utama yang kerap disampaikan pihak berwenang adalah soal wilayah administrasi karena TPA berada di Kota Malang, sedangkan desa terdampak masuk wilayah Kabupaten Malang.
“Kami sudah berkali-kali menahan warga agar tidak demo. Tapi kalau tak ada solusi konkret, kami akan tentukan langkah kami sendiri,” tegas Tekat.
Dua dusun di Desa Jedong yaitu, Krobyokan dan Wugu disebut mengalami pencemaran air serius. Sumber air yang selama ini digunakan warga, menurut Tekat, tak lagi layak konsumsi. Karena itu, warga menuntut dua hal konkret: penyediaan sumur artesis dan satu mobil siaga untuk layanan kesehatan.
Setelah audiensi lintas pemangku kebijakan, termasuk DLH Kota dan Kabupaten Malang, serta DPRD dari kedua wilayah, akhirnya tercapai kesepakatan awal. Tiga unit mobil siaga untuk tiga desa terdampak akan dianggarkan melalui DLH Kota Malang, DLH Kabupaten Malang, serta pihak ketiga melalui skema CSR. Sementara itu, pengeboran sumur artesis akan diupayakan melalui APBD Kota Malang.

Sementara itu, Kepala DLH Kota Malang, Noer Rahman Wijaya mengakui bahwa kesulitan utama terletak pada regulasi. APBD Kota Malang tidak bisa digunakan untuk membiayai program di luar wilayah administratif.
“Bukan tidak peduli. Tapi ini soal aturan tata kelola keuangan daerah. Bahkan pengeboran sumur artesis saja bisa menelan biaya Rp750 juta untuk satu desa,” jelas Rahman.
Meski demikian, DLH Kota Malang berupaya menganggarkan alat uji kualitas udara guna mengidentifikasi sumber bau menyengat yang selama ini dikeluhkan warga.
“Ini untuk melihat apakah benar bau dari TPA. Karena di sekitar juga ada peternakan besar,” imbuhnya.
Rahman menambahkan bahwa pengelolaan TPA Supit Urang sebenarnya telah dilakukan dengan berbagai inovasi, termasuk penggunaan enzim eco hasil kerja sama dengan pihak swasta.
“TPA Supit Urang sudah termasuk terbaik nomor enam di Asia Tenggara. Tapi memang, pengelolaan sampah itu kompleks. Kompos pun susah dijual karena aturan,” pungkasnya.
TPA Supit Urang berdiri megah di atas lahan 32 hektar dan menampung hingga 450 ton sampah per hari. Namun di balik megahnya proyek nasional senilai Rp237 miliar ini, jeritan warga sekitar tetap menggema. (YD)