KOTA MALANG – malangpagi.com
Alun-Alun Bunder, atau dikenal dengan Alun-Alun Tugu, bakal direvitalisasi oleh Pemerintah Kota Malang melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Malang.
Seperti disampaikan Kepala DLH Kota Malang, Nur Rahman Wijaya, pelaksanaan revitalisasi akan dieksekusi dalam waktu dekat sesuai SPMK (Surat Pernyataan Melakukan Kegiatan) per 12 Juni 2023, dengan waktu pengerjaan selama 120 hari atau empat bulan.
Alun-Alun Tugu dulunya bernama Aloon-Aloon Boender atau disebut Jan Pieterszoon Coenplein, merupakan taman luas berbentuk bundar dan memiliki sebuah air mancur.
Pemerhati sejarah Kota Malang, Tjahjana Indra Kusuma mengatakan, pola bundar pada perencanaan pusat kota lazim digunakan di kota-kota Eropa sejak dulu. “Pola pengaturan dalam sistem radial ini berinteraksi langsung juga dengan pengaturan lalu lintas yang menuju satu pusat kota. Solusi terbaik pengurai kepadatan lalu lintas dan sirkulasinya adalah penggunaan sistem ini dengan pusat yang berbentuk bundar,” jelas Indra kepada Malang Pagi, Minggu (18/6/2023).
Setelah mendapat status Gemeente atau Kotapraja pada 1 April 1914, yang tertuang dalam Staadsblad No. 297 tahun 1914, Pemerintahan Kota membuat rencana perluasan kota baru beserta pusat pemerintahannya. “Pembangunan pusat pemerintahan baru ini tertuang dalam Bouwplan II, yang ditetapkan pada 26 April 1920, dan baru dilaksanakan pada 1922,” tuturnya.
Menurut Indra, pusat pemerintahan Kota Malang ditetapkan berbentuk bundar di tengah daerah pemukiman. Bentuk ini dipilih sebagai pilihan, selain bentuk persegi yang terkesan indisch atau lokal, dan kurang mendapat tempat bagi generasi-generasi baru Belanda yang menuju Hindia Belanda di awal 1900an.
“Walikota Malang, Ir. E.A. Voorneman memiliki visi sangat jauh dalam menata pusat kota. Dia berkolaborasi dengan arsitek dan planolog fenomenal di zamannya, yaitu Ir. Herman Thomas Karsten dalam membuat perencanaan dan perluasan kota,” ungkap Indra.
Dari tangan Karsten inilah, lahir sebuah mahakarya kawasan Aloon-Aloon Boender (Jan Pieterszoon Coenplein dan Daendels Boulevard), yang merupakan perpaduan desain gaya Eropa dengan iklim tropis yang lembap. “Mereka sangat detail dalam integrasi perencanaan model dan gaya bangunan, serta pemilihan vegetasi yang sesuai,” tuturnya.
Keunikan lain dari Alun-Alun Bunder yaitu memiliki konsep semacam garis imajiner, seperti yang dibuat Kraton Yogyakarta. “Yogyakarta garis imajinernya adalah Gunung Merapi, Tugu, Kraton ke laut selatan. Sedangkan untuk Malang, desain Balaikota simetris menghadap utara agak ke timur laut sekian derajat. Kemudian balkon Balaikota saat Walikota atau Burgemeester memandang keluar di kejauhan, akan sejajar dengan air mancur Jan Pieterszoon Coenplein lurus ke Idenburgstraat, dan berujung di puncak Gunung Arjuna,” urainya.
Sementara itu, sejarawan Kota Malang Dwi Cahyono mengatakan bahwa Alun-Alun Bunder dibangun dalam tiga tahap. “Taman Alun-Alun Bunder sudah ada sejak 1920 dan hanya berbentuk tanah yang melingkar. Kemudian dibangun kolam yang berisi teratai, namun belum ada tugu,” ungkapnya.
“Baru pada 1953 dibangun monumen tugu, dan pada 20 Mei 1953 dengan sebuah upacara yang khidmat, Tugu Kemerdekaan diresmikan oleh Presiden Sukarno,” lanjut Dwi.
Sejarawan sekaligus arkeolog ini menyebut Alun-Alun Bunder memiliki konteks dengan Kota Malang. “Dan ini menarik. Karena di Kota Malang memiliki dua Alun-Alun. Yaitu Alun-Alun Kotak atau Alun-Alun Merdeka, dan Alun-Alun Bunder,” terangnya.
“Alun-Alun Kotak pembangunannya lebih terkait dengan sentra Kabupaten Malang, karena keberadaannya pada konteks pendopo Kabupaten Malang. Berbeda dengan Alun-Alun Bunder yang lebih ke konteks Kota Malang,” sambungnya.
Dirinya menyebut, proses awalnya yang dihadirkan di depan Balaikota bukanlah sebuah Alun-Alun, tetapi lebih pada sebuah taman yang disebut Jans Pieterszoon Coenplein. “Dalam perkembangannya, yang menarik dari Alun-Alun Bunder ini adalah keberadaan monumen Tugu yang ditempatkan pada titik sentral. Tugu ini lebih pada nilai perjuangan masyarakat Kota Malang dalam kaitannya mempertahankan kemerdekaan. Alun-Alun Bunder dengan tugunya akhirnya menjadi ikon Kota Malang,” pungkas Dwi.
Kemudian, Purnawan Basundoro dalam bukunya berjudul ‘Dua Kota Tiga Zaman Surabaya’ dan ‘Malang Sejak Kolonial Sampai Kemerdekaan’ menyebutk bahwa Alun-Alun Bunder terletak dua kilometer ke arah timur dari Alun-Alun Kotak, dan merupakan ‘halaman depan’ gedung Balaikota Malang.
“Dari bentuknya yang bundar, alun-alun tersebut tidak mencitrakan sebagai khas kota tradisional Jawa. Ditambah dengan letaknya yang berada di depan Balaikota, yang merupakan pusat pemerintahan kolonial pada abad ke-20. Alun-Alun Bunder lebih bercitra sebagai alun-alun kolonial yang bernuansa Eropa,” tulis Basundoro.
Desain dasar yang dibuat oleh Karsten untuk kawasan Alun-Alun Bunder merupakan kawasan Eropa. Sehingga memiliki kesan amat jauh dari Kota Malang. “Dari sejarah dibangunnya kawasan Alun-Alun Bunder memang sejak awal dijauhkan dari masyarakat pribumi. Karena dibangun sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan kawasan masyarakat Eropa, golongan masyarakat elit pada waktu itu yang diberi nama Gouverneur Generaalbuurt. Karena jalan-jalannya memakai nama Gubernur Jenderal pada masa Hindia Belanda,” tutup Basundoro. (Har/MAS)