KOTA MALANG – malangpagi.com
Alun-Alun Bunder atau Taman JP Coen (Jan Pieterszoon Coenplein) yang saat ini lebih populer dengan sebutan Alun-Alun Tugu, awal pembangunannya memang tanpa pagar.
Pemerhati sejarah dan cagar budaya Kota Malang Tjahjana Indra Kusuma mengatakan selain menimbulkan kesan luas, konsep tidak berpagar juga karena taman ini sengaja dirancang menyatu dan menjadi bagian Balaikota Malang.
“Tanpa pagar dapat bermakna antara pimpinan kota dan rakyatnya tak berbatas, serta ada transparansi atau keterbukaan. Selain itu, tanpa pagar juga menandakan bahwa keamanan dan kenyamanan Gemeente atau Kotapraja Malang terjamin dan dijamin oleh pemangku atau pimpinan kota,” ungkap Indra kepada Malang Pagi, Minggu (25/6/2023).
Dirinya menerangkan, keamanan wilayah jauh terjadi sebelum mulai terbentuknya Gemeente Malang, yang pengesahannya sejak 1 April 1914. Pada awal dibentuk, kota ini masih dipimpin dan di bawah tanggungjawab Asisten Residen Malang F.L. Broekveltd hingga H.G.Ch.L. De La Parra, dengan dibantu sebuah Dewan Kota.
“Dan baru 1 Juli 1919 diangkat seorang Burgemeester atau Walikota (Bussemaker). Keadaan kondusif selama lima tahun di daerah yang sebelumnya adalah District Kota yang naik status menjadi sebuah Gemeente atau Kotapraja. Selama itu di District atau Kawedanan Kota (Malang) khususnya, yang meliputi wilayah beberapa Onder District (setingkat Kecamatan), tidak pernah terjadi ‘amuk masa’ atau kondisi-kondisi genting yang mengganggu stabilitas keamanan wilayah,” papar Indra.
Perencanaan Balaikota dengan Bundaran Tugu menempati wilayah yang sangat strategis, karena dekat Stasiun Malang dan markas pertahanan dari beberapa batalyon yang berada di kawasan Rampal. Sehingga pengganggu keamanan akan berpikir ulang jika akan membuat sebuah aksi. Karena berdekatan dengan instalasi militer, maka mobilisasi pengamanannya mudah dan singkat.
“Di Afdeeling Malang pun, amuk masa hampir nihil terjadi. Hal ini diperkuat catatan koran-koran lama. Karena topografi wilayah ini pegunungan dan termasuk hinterland atau pedalaman yang sulit dijangkau, sebelum kereta api berhasil tersambung dan masuk Malang pada 1879,” ungkap Indra.
“Jadi secara geopolitik, kewilayahan Malang memang wilayah yang tenang dengan topografi pegunungan yang mendukung. Meski di jalur Batu-Pare adalah wilayah hutan yang menjadi basis pelarian simpatisan Diponegoro saat perang Jawa usai, tapi pengaruh geopolitiknya tidak sampai ke District Kota yang merupakan cikal bakal Gemeente Malang,” imbuhnya.
Menyinggung banyaknya pohon cemara serta pilihan vegetasi saat JP Coenplein berdiri, Indra mengatakan bahwa awalnya Alun-Alun Bunder ini didesain minimalis dengan menonjolkan Balaikota. “Cemara itu berada di sepanjang Jalan Kertanegara atau Daendels Boulevard, di sepanjang Jalan Panggung dan di sekeliling Jinja atau Kuil Agama Shinto yang pernah ada di Malang (sekarang TMP Suropati),” jelasnya.
“Belanda sangat memperhatikan pemilihan vegetasi, dan juga memprediksi ukuran pohon jika sudah besar akan berkorelasi terhadap pemandangan landmark kota,” tandas Indra.
Dihubungi terpisah, pemerhati sejarah Raymond Valiant juga menegaskan bahwa Alun-Alun Bunder pernah tidak memiliki pagar. “Alun-Alun ini baru berpagar setelah era 1980-an. Bahkan, foto 1930-an dari Alun-Alun Bunder jelas menunjukkan ini adalah area terbuka dan tidak berpagar. Taman JP Coen dirancang sebagai taman terbuka tanpa pagar,” ujar Raymond.
Dikatakannya, taman pada zaman Hindia Belanda yang kini menjadi area Tugu, dulu dirancang dengan pendekatan berbeda dari saat ini. “Fungsi sentral dari pagar dan taman di sekeliling Tugu pada hari ini adalah mengarahkan perhatian hanya pada landmark ini. Beda dengan zaman Hindia Belanda, di mana taman ini bagian dari ruang terbuka. Tata Kota Malang sejak edisi pertama sudah memberi perhatian pada taman dan ruang terbuka bagi publik,” jelasnya.
Dirinya menilai, Alun-Alun Bunder memang lebih baik tidak berpagar. Ada keterbukaan ruang yang membangun suatu suasana yang menyatu di cluster tadi. “Namun jangan lupa, tamannya harus direncana dengan baik, agar mudah perawatannya dan elemennya selaras. Selaras dengan sejarah Kota Malang, tidak membangun ‘idiom’ baru,” saran Raymond. (Har/MAS)