KOTA MALANG – malangpagi.com
Sebagai salah satu universitas terbesar di Indonesia, aset Universitas Brawijaya (UB) banyak tersebar di sejumlah lokasi, salah satunya di Jalan Laksamana Martadinata, Kelurahan Sukoharjo, Kecamatan Klojen, Kota Malang.
Di tempat tersebut terdapat lahan seluas 7.000 meter persegi, terletak di belakang gedung BRI Martadinata. Lahan tersebut sebelumnya pernah digunakan SD Katolik Santo Yusup Malang, dan tidak digunakan lagi sejak pandemi Covid-19 melanda.
Jauh sebelumnya, lahan juga merupakan eks sekolah Ta Chung – Ma Chung, yang dinasionalisasi pada 1960 dan di serahkan ke pihak UB [pada waktu itu masih bernama Universitas Kota Praja Malang] yang selanjutnya digunakan sebagai gedung Fakultas Hukum. Beberapa puluh tahun kemudian, berulah lahan tersebut digunakan oleh SDK Santo Yusup.
Pada Selasa (6/9/2022), Universitas Brawijaya melalui Wakil Rektor II UB, Profesor Gugus Irianto mengundang Bappeda, Disdikbud, DPUPRKP, Disnaker PMPTSP, Bagian Hukum, TACB Kota Malang, dan Yayasan Kosayu, untuk meninjau dan menggelar diskusi terkait pemanfaatan lahan UB di Jalan Martadinata tersebut.
Pada kesempatan itu, Gugus Irianto berkonsutasi kepada Pemkot Malang, tentang rencana pembangunan klinik UB yang ternyata berada di Kawasan Strategis Cagar Budaya, berdasarkan Perda Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang.
“Ketika kami mau memanfaatkan aset negara ini dan melihat di Sistem Informasi Tata Ruang Kota Malang (SIPETARUNG), ternyata lokasi ini ada di zonasi cagar budaya. Maka dari itu, kami mengundang semua pihak untuk mendapatkan gambarannya,” ungkap mantan Dekan FEB UB tersebut.
Suasana diskusi yang berlangsung serius tapi santai juga diikuti oleh segenap civitas kampus. Diskusi digelar di dalam sebuah bangunan bergaya arsitektural Tiongkok persegi delapan, yang memiliki empat pintu dan empat jendela.
Sekilas, bangunan tersebut tampak seperti sebuah Pagoda. Tembok luar memiliki tekstur batu bata yang dilapisi cat merah. Sedangkan di dinding bagian dalamnya berwarna putih. Semua pintu dan jendela juga pun berwarna putih. Masing-masing sudut luar ada delapan penyangga besi, dan dua atap tersusun dengan hisan mahkota bunga teratai.
Acara tersebut turut dihadiri Kabid Kebudayaan Dikbud Kota Malang Dian Kuntari, bersama lima anggota TACB Kota Malang Erlina Laksmiani Wahjutami, Rakai Hino Galeswangi, Isa Wahyudi, Daroe Iswatingsih, dan Hengki Herwanto yang menyampaikan tupoksi TACB.
Dian juga menyampaikan, hal-hal yang berkaitan dengan pelayanan Perizinan Bangunan Gedung [dulu IMB] selama ini satu koordinasi dengan Disnaker PMPTSP. “Khusus pada bangunan yang masuk dalan zonasi Lingkungan Cagar Budaya dan Kawasan Strategis Sosial Budaya, TACB bertugas merekomendasi pemohon sesuai arahan dari Keterangan Rencana Kota,” tuturnya.
Sementara itu, Rakai Hino, yang juga seorang ahli sejarah alumni Universitas Negeri Malang (UM) menjelaskan bahwa berdasarkan kesejarahan, lokasi Jalan Martadinata pada era 1900-an adalah sebuah kampung pecinan.
“Pecinan di Malang terbagi dua. Yaitu Pecinan Besar, sepanjang jalan dari Bug Gludug hingga stasiun lama dan Pasar Kebalen sisi timur jalan. Adapun Pecinan Kecil berada di sisi barat jalan, atau Pasar Pecinan [sekarang Pasar Besar] termasuk di sisi selatannya,” terang Hino.
Dirinya menduga, lokasi tersebut sebelumnya adalah sebuah kompleks sekolah orang keturunan Tionghoa. Orang Tionghoa dengan ekonomi menegah ke bawah bersekolah di Ta Chung, sedangkan masyarakat Tionghoa elit menempuh studi di Ma Chung [sekarang SMA Negeri 2 Malang]. Namun kini sekolah khusus orang Tionghoa sudah tidak ada, karena terjadi nasionalisasi pendidikan pada 1960.
“Bangunan yang ada di dalam lahan UB eks SDK Santo Yusup ini merupakan Obyek Diduga Cagar Budaya sebagai tempat peribadatan. Karena bangunan ini mirip seperti pagoda segi delapan, yang memiliki nilai dan arti arah mata angin,” terang Sekertaris TACB Kota Malang itu.
Sementara itu, Ketua TACB Kota Malang Erlina Laksmiani meminta agar bentuk bangunan dipertahankan, meskipun pihaknya juga berniat menelusuri fungsi dan kegunaan bangunan yang diduga sebelumnya digunakan sebagai sebuah tempat peribadatan. “Secara arsitektur memiliki konsistensi bangunan pecinan. Dari bangunan ini bisa dijadikan pembelajaran, bahwa sisi arsitektural di masa kolonial di mana warga Tionghoa bebas membangun sesuai peruntukannya,” terangnya.
“Jadi Kota Malang ternyata kaya dengan ragam arsitektural. Salah satunya arsitektural Tiongkok, sekalipun pembangunannya di masa kolonial, dan tidak melulu arsitektur gaya Belanda,” imbuh perempuan yang juga menjabat sebagai Sekertaris Jurusan Arsitektur Universitas Merdeka Malang itu.
Di kesempatan yang sama, Agung H Buana mewakili Bappeda Kota Malang mengatakan, bentuk bangunan tersebut mirip dengan dua bangunan segi delapan di bagian belakang Balaikota Malang, yaitu di bagian umum dan tempat wudu.
“Tepat kirannya bangunan ini menjadi sumber referensi untuk merevitalisasi obyek di sekitarnya. Jika memungkinkan, ada pembangunan pemanfaatan dan daya guna lahan,” kata pria yang pernah menjabat sebagai Sekretaris TACB Kota Malang tersebut.
Setelah mendengarkan semua masukan, pihak UB pun menegaskan untuk mempertahankan bentuk bangunan, yang merupakan bangunan Obyek Diduga Cagar Budaya (ODCB), guna melestarikannya sebagai bagian dari kecagarbudayaan Kota Malang.
Usai berdiskusi, seluruh undangan diajak berkeliling bangunan sekolah eks SDK Santo Yusup, yang rencananya akan dialihfungsikan sebagai Klinik Universitas Brawijaya. (DK99/MAS)