
KOTA MALANG – malangpagi.com
Pemerintah terus mengakselerasi pembangunan Sekolah Rakyat sebagai solusi pendidikan bagi keluarga miskin ekstrem. Namun, di tengah optimisme program tersebut, kelompok penyandang disabilitas masih bertanya-tanya, apakah mereka akan dilibatkan atau kembali terpinggirkan.
Di Kota Malang, beberapa lokasi telah disurvei untuk pembukaan Sekolah Rakyat yang dijadwalkan mulai beroperasi pada Juli 2025. Gedung sementara di Poltekom Malang telah disiapkan dan 210 siswa dari keluarga dalam Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) desil 1 dan 2 telah terdaftar. Namun, belum ada kepastian apakah siswa disabilitas akan mendapat porsi dalam program tersebut.
Melihat kondisi itu, Ketua DPRD Kota Malang, Amithya Ratnanggani Sirraduhita, menilai pentingnya membuka ruang dialog antara pemerintah pusat dan pemangku kepentingan disabilitas.
“Datanya sudah tersedia. Pemerintah pusat seharusnya mau mendengar dan menindaklanjuti masukan dari KND. Kita tidak bisa bicara pemerataan pendidikan kalau kelompok disabilitas masih jadi pilihan terakhir,” ujar Amithya, Jumat (23/5/2025).
Amithya juga mengkritik sistem penyelenggaraan Sekolah Rakyat yang dinilai terburu-buru dan belum sepenuhnya matang. Banyak wali murid, menurutnya, masih ragu terhadap kualitas dan masa depan program ini.
“Kami berharap dalam waktu yang singkat ini bisa ada sosialisasi lebih luas. Sambil berjalan, sistemnya perlu dibenahi, termasuk skema untuk anak-anak disabilitas,” katanya.
Jika pemerintah pusat belum mengatur kuota disabilitas dalam Sekolah Rakyat, DPRD mendorong agar Pemerintah Kota Malang membuka ruang di sekolah negeri yang sudah ada dengan memperkuat sarana inklusif, seperti tenaga pendidik khusus dan fasilitas pendukung.
“Kalau mau menerima siswa disabilitas, kita tidak bisa asal tambah kuota. Perlu sistem dan fasilitas yang siap, agar hak mereka tidak setengah-setengah,” ungkapnya.
Terpisah, Komisioner Komisi Nasional Disabilitas (KND), Jonna A Damanik, menilai program Sekolah Rakyat seharusnya tidak sekadar menyasar kelompok miskin ekstrem secara umum, tapi juga mempertimbangkan inklusivitas terhadap anak-anak disabilitas.
“Kami mendorong agar paling tidak 10 persen kuota sekolah rakyat diisi siswa dari kalangan disabilitas. Itu adalah langkah minimal untuk menciptakan pendidikan yang benar-benar inklusif,” jelas Jonna.
Jonna menambahkan bahwa selama ini pendidikan untuk penyandang disabilitas masih terpusat pada Sekolah Luar Biasa (SLB) dan sekolah inklusi. Namun, akses dan kualitasnya belum merata. Oleh karena itu, kehadiran Sekolah Rakyat seharusnya menjadi momentum memperluas ruang pendidikan bagi semua, tanpa diskriminasi.
“Mudah-mudahan dengan sekolah rakyat dalam konteks mengentas kemiskinan ekstrem, bisa terakses juga bagi teman-teman disabilitas,” ucapnya. (Rz/YD)