KOTA MALANG – malangpagi.com
Persoalan tanah milik warga yang difungsikan sebagai tempat pencucian mobil sejak lama dikeluhkan warga dan pengguna jalan. Lokasinya yang berada di tengah jalan kembar, dekat exit tol Madyopuro, Kecamatan Kedungkandang, disinyalir menjadi pemicu kemacetan. Kepadatan lalu lintas terjadi terutama dari arah Kedungkandang menuju utara.
Persoalan ini pun sudah berlangsung selama hampir empat tahun, dan pihak Pemerintah Kota Malang hingga saat ini seolah enggan berinisiatif membeli lahan tersebut untuk pelebaran jalan. Meskipun faktanya sampai sekarang kepadatan arus kendaraan dan bahkan beberapa kali kecelakaan sering terjadi akibat sempitnya jalan.
Masalah ini tak luput dari perhatian Fokamora (Forum Komunikasi Masyarakat Malang). Merasa tergerak atas keluhan masyarakat, FOKAMORA pun mengadakan aksi penggalangan dana untuk membeli lahan tersebut.
Koordinator Fokamora, Soetopo Dewangga menjelaskan, mekanisme penggalangan dana yang dilakukan pihaknya yakni dengan mengirim proposal kepada sejumlah stakeholder, yang dianggap mendukung gagasan pembebasan lahan di Jalan Ki Ageng Gribig itu, untuk selanjutnya digunakan sebagai fasilitas umum.
“Selain mengirim proposal, kami juga akan membuka kotak sumbangan yang dijaga para relawan. Bagi donatur yang ingin menyumbang, dapat datang langsung ke posko penggalangan dana di Jalan Ki Ageng Gribig,” tutur Soetopo kepada Malang Pagi, Rabu (6/4/2022).
Pihaknya menegaskan, penggalangan dana ini akan digeber selama bulan Ramadan. Soetopo berharap target dapat dipenuhi sebelum hari raya Idul Fitri. “Tim audit internal Fokamora dan eksternal akan dilibatkan untuk melakukan pengawasan bersama-sama terhadap dana yang terkumpul,” ungkapnya.
“Persoalan ini murni hanya masalah anggaran pembelian. Kami tidak menemukan persoalan hukum. Untuk itu, kami berharap persoalan ini secepatnya tuntas,” terang Soetopo.
Namun, pihak Fokamora mengaku bahwa penggalangan dana yang akan mereka lakukan belum berkoordinasi dengan Pemkot Malang. Aksi ini semata didasari kenyataan, bahwa selama empat tahun lahan tersebut tidak dapat dialihfungsikan sebagai fasilitas umum.
“Sebelumnya, pada 1 April 2022 kami bertemu dengan penasihat hukum pemilik lahan. Saat itu baru diketahui permasalahan sebenarnya. Yaitu karena tidak tercapainya kesepakatan tentang nilai ganti rugi,” beber Soetopo.
Dalam persoalan ini pemilik meminta 1,5 miliar rupiah, dikarenakan lokasinya kebetulan berada di lokasi terdampak tol, bukan karena kebutuhan fasum Pemkot. Sehingga norma dasar appraisalnya berbeda. (DK99/MAS)