KOTA MALANG – malangpagi.com
Polemik dalam tubuh Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Malang yang menyeruak ke permukaan tak ayal cukup menjadi sorotan publik. Pasalnya, sertifikasi dua Ahli Cagar Budaya (ACB) yang seharusnya habis masa berlakunya pada 2019 lalu, namun di tahun 2021 ditetapkan melalui Surat Keputusan Walikota Malang Nomor 185.45/14/35.73.112/2021 tentang Pembentukan Tim Ahli Cagar Budaya Daerah Kota Malang Tahun 2021, tertanggal 4 Januari 2021.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, bahwa TACB adalah kelompok ahli pelestarian dari berbagai bidang ilmu yang memiliki sertifikat kompetensi, yang bertugas untuk memberikan rekomendasi penetapan, pemeringkatan, dan penghapusan Cagar Budaya.
“TACB ada di tingkat nasional, tingkat provinsi, dan tingkat Kabupaten atau Kota. TACB diangkat dan diberhentikan berdasarkan Surat Keputusan Menteri (tingkat nasional), Gubernur (tingkat provinsi), Bupati atau Walikota (tingkat Kabupaten atau Kota),” ungkap anggota TCAB, Isa Wahyudi kepada Malang Pagi, saat dihubungi melalui sambungan seluler, Sabtu (12/6/2021).
“Untuk tingkat nasional jumlahnya antara 9 hingga 15 orang. Sementara di tingkat provinsi jumlahnya antara 7 hingga 9 orang, dan untuk tingkat Kabupaten atau Kota jumlahnya antara 5 hingga 7 orang,” imbuhnya.
“Tim Ahli Cagar Budaya terdiri dari berbagai bidang ilmu. Karena obyek yang diduga sebagai Cagar Budaya sangat banyak jumlah dan jenisnya. Sehingga diperlukan dukungan dari berbagai ilmu untuk melakukan tugas TACB,” jelas Isa, yang lebih dikenal dengan sapaan Ki Demang itu.
Dirinya menambahkan, keilmuannya selain arkeologi antara lain seni, antropologi, sejarah, sastra, geologi, geografi, teknik sipil, arsitektur, biologi, dan hukum. Sedangkan uji kompetensi dan sertifikasi diberikan oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).
Pria yang juga didapuk sebagai Ketua Forum Komunikasi Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kota Malang itu menjelaskan, Sebelum menetapkan bangunan sebagai sebuah Cagar Budaya, maka dilakukan pengkajian terlebih dahulu. Hasil kajian yang berupa rekomendasi selanjutnya disampaikan kepada Bupati atau Walikota, untuk penetapan status Cagar Budaya.
Jika Bupati atau Walikota belum membentuk TACB, maka TACB Provinsi dapat menerima tugas untuk melakukan kajian serta membuat keputusan dalam sidang-sidangnya, guna memberikan rekomendasi kepada Bupati atau Walikota.
“TACB Provinsi memberikan rekomendasi penetapan untuk situs Cagar Budaya atau kawasan Cagar Budaya yang berada lebih dari dua Kabupaten atau Kota. Sedangkan TACB Nasional memberikan rekomendasi untuk situs Cagar Budaya atau kawasan Cagar Budaya yang berada di dua provinsi atau lebih,” terang Isa.
Pria yang merupakan penggiat Kampung Budaya Polowijen tersebut memaparkan, Pemerintah Kabupaten atau Kota menyampaikan hasil penetapan kepada Pemerintah Provinsi dan selanjutnya diteruskan kepada Pemerintah Pusat atau Tingkat Nasional.
“TACB di setiap tingkatan memberikan rekomendasi peringkat Cagar Budaya berdasarkan kepentingannya, apabila memenuhi sejumlah syarat yang disebutkan dalam Undang-Undang Cagar Budaya,” tuturnya.
“Cagar budaya yang tidak lagi memenuhi syarat tersebut dapat dikoreksi lagi peringkatnya, berdasarkan rekomendasi TACB di setiap tingkatan” lanjut Isa.
Tidak hanya itu, pihaknya juga menjabarkan bahwa TACB di setiap tingkatan memberikan rekomendasi penghapusan Cagar Budaya. Apabila cagar budaya musnah, hilang dan dalam jangka waktu 6 tahun tidak ditemukan, juga jika mengalami perubahan wujud dan gaya sehingga kehilangan keasliannya, atau di kemudian hari diketahui statusnya ternyata bukan sebuah Cagar Budaya.
“Namun sesuai dengan Pasal 50 Undang-Undang Cagar Budaya, bahwa untuk Cagar Budaya yang sudah tercatat dalam Register Nasional hanya dapat dihapus dengan Keputusan Menteri atas rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya di tingkat Pemerintah Pusat atau Tingkat Nasional,” tambah Isa.
Begitu pentingnya keberadaan TACB dalam rangka pelestarian, perlindungan, penyelamatan, dan pengamanan terhadap benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan Cagar Budaya, maka TACB memang harus diamanahkan kepada orang-orang yang berkompeten dan tentunya bersertifikasi.
Terkait adanya carut marut di TACB Kota Malang, pengamat sejarah sekaligus Ketua Jelajah Jejak Malang, Restu Respati berpendapat bahwa keberadaan TACB diperlukan bagi pelestarian Cagar Budaya di setiap daerah.
“Bidang keilmuan dari masing-masing ACB dibutuhkan untuk proses pengkajian obyek-obyek yang diduga sebagai Cagar Budaya, untuk layak atau tidaknya ditetapkan sebagai Cagar Budaya. Oleh karena itu, mereka diwajibkan memiliki sertifikasi kompetensi terlebih dahulu sebelum menjalankan tugas untuk memberikan rekomendasi, pemeringkatan, dan penghapusan Cagar Budaya,” jelas Restu.
Menanggapi polemik yang terjadi, sehingga dua pimpinan TACB Kota Malang terpaksa diberhentikan, Restu mengaku sudah menduga hal tersebut akan terjadi.
“Kejanggalan sudah terlihat sejak dulu. Di Kota dan Kabupaten lain saya cek usia sertifikat TACB adalah 3 tahun. Apabila berakhir, ACB dapat memperpanjang lagi. Jika usia sertifikat itu berakhir tahun 2019, maka bagaimana pertanggungjawabannya terkait rapat-rapat yang diselenggarakan dan pernyataan-pernyataan TACB yang dimuat di berbagai media?” ujarnya.
“Tetapi untunglah hari ini segera diketahui (Sabtu, 12/6/2021). Kalau tidak, rekomendasi-rekomendasi yang dikeluarkan oleh TACB bisa menjadi blunder, dan berakibat fatal bagi kecagarbudayaan di Kota Malang,” tukasnya.
Sementara itu, penggagas Malang Raya Heritage, Tjahjana Indra Kusuma mengatakan, anggota ACB yang sertifikasinya mati tidak diperbolehkan melakukan tugas dinas atas biaya negara sebagai ACB. Serta tidak dibenarkan menandatangani semua kebijakan atau rekomendasi dalam ranah ACB, yang mengatasnamakan instansi atau Pemerintah Kota Malang.
Ia berharap, semoga beberapa rekomendasi atau kebijakan apapun yang diambil pada saat sertifikasinya sudah kadaluarsa tidak cacat hukum dan menyalahi aturan yang berlaku.
“Jika ACB yang sudah diberhentikan sebagai anggota itu merupakan kebijakan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Malang, yang berhubungan dengan pembuatan SK Walikota untuk pengangkatan dan formasi baru TACB. Segala sesuatu mungkin saja terjadi,” tandasnya.
Menanggapi derasnya komentar tentang polemik tersebut, salah satu anggota TACB Kota Malang, Daroe Iswatiningsih berasumsi bahwa masih munculnya komentar dari masyarakat merupakan bentuk kepedulian terhadap Cagar Budaya, yang diwujudkan melalui opini, pendapat, protes, bahkan celaan.
“Tanggapan dari bermasyarakat mengenai TACB ini beraneka ragam. Mungkin dari TACB didampingi pihak Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dapat duduk bersama, sehingga kita dapat menampung unek-unek dari mereka” ungkap Daroe, yang berprofesi sebagai dosen itu.
Saat ditanya mengenai dua pimpinan TACB yang di-take down, dirinya enggan berkomentar.
Reporter : Hariani
Editor : MA Setiawan