SAMPANG – malangpagi.com
Tak jarang terdengar, berbagai cerita tentang orang Madura sebagai karakter yang keras, kasar, pemarah, dan banyak hal negatif lainnya. Stereotip ini salah satunya disinyalir dari seringnya dari pemberitaan terkait kekerasan dan kriminalitas yang muncul di sejumlah media. Diperkuat dengan dikenalnya tradisi yang masih berkembang di masyarakat Madura, yaitu Carok.
Namun, tak kenal maka tak sayang. Stereotip negatif itu berusaha ditepis oleh seorang pemandu pariwisata asal Bandung, Deasy Yumnasari, yang kini menetap di Sampang. Dirinya pun menceritakan karakter masyarakat Madura yang positif dari kacamata para pendatang yang memutuskan tinggal di Pulau Madura, khususnya di Kabupaten Sampang.
Deasy menceritakan, masyarakat Madura sejatinya memiliki rasa persaudaraan kuat terhadap orang lain, meskipun mereka yang tidak memiliki ikatan darah. “Fakta itu muncul saat saya bersama suami memutuskan untuk tinggal dan menetap di Kabupaten Sampang,” ungkapnya.
Dirinya mengisahkan, saat awal kepindahan ke Pulau Garam itu, sempat hinggap perasaan khawatir. “Apakah kami akan diterima di lingkungan tetangga? Apalagi dengan budaya dan bahasa kami yang berbeda. Tetapi lambat laun, rasa khawatir itu tergantikan dengan rasa kagum yang luar biasa,” tutur Deasy.
“Satu setengah tahun kami tinggal di Sampang, tidak pernah kami merasakan kekurangan makanan. Hampir tiap hari tetangga kanan dan kiri datang membawa hasil tangkapan laut. Ketika panen kami pun, kami ikut mendapatkan beras, jagung, dan ubi kayu. Hal ini juga yang mematahkan pemikiran kami, bahwa Madura subur dengan caranya sendiri,” jelasnya.
Masih kata Deasy, dalam satu tahun terakhir dirinya berhasil mendatangkan tamu dari manca negara. Dengan bangganya, Ia pun memperkenalkan Madura sebagai tempat yang kaya dengan budaya, serta keramahan yang tidak kalah dengan daerah lainnya.
“Tamu kami [turis asing] menikmati berinteraksi dengan warga setempat. Minum kopi bersama di balai-balai depan rumah, belajar memakai sarung, bahkan bercanda sampai terbahak-bahak, walaupun dengan keterbatasan bahasa,” terang Deasy.
Lanjutnya, para turis pun akhirnya mengetahui bahwa tradisi Carok adalah langkah terakhir yang dilakukan jika harga diri terluka. Terlebih apabila menyangkut dengan ‘pagar ayu’.
Bahkan jika dipikir lebih lanjut, menurut Deasy, sebetulnya masyarakat desa di Madura tidak jauh beda dengan sosok Kabayan dalam cerita rakyat Sunda, maupun Si Doel Anak Betawi dengan kepolosan dan kejujurannya.
Yang sedikit membedakan hanyalah intonasi dan volume suara yang memang cenderung keras.
“Sejak lama saya berupaya mengenalkan masyarakat Madura dari sisi yang baik. Kembali ke era 80an, ada film boneka Si Unyil memunculkan sosok Bu Baria, penjual rujak asal Madura dengan kata-kata khasnya ‘Bo’abo’. Disusul hadirnya sosok pelawak Kadir dengan logat Madura medok yang berpasangan dengan Doyok. Dua sosok yang digambarkan asal Madura tersebut sangat melekat di kehidupan anak-anak pada masa itu,” papar Deasy.
Tidak hanya di situ, sebagian masyarakat mungkin belum menyadari bahwa banyak tokoh terkenal di Indonesia yang berasal dari Pulau Madura. Salah satunya adalah pahlawan nasional Halim Perdanakusuma. Putra asli Sampang tersebut namanya kini digunakan sebagai nama bandara internasional di Jakarta.
Namun di sisi lain Deasy mengakui, bahwa upayanya dalam menceritakan sisi positif masyarakat Madura tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Lantaran masih banyak masyarakat yang melihat sisi negatif hanya dari sepenggal cerita masa lalu tentang Madura.
Sambil berseloroh, Deasy merasa tidak adil jika seseorang menyukai sate Madura, namun Ia mendiskriminasi sosok orang Madura. “Saran saya, datanglah ke Madura, khususnya Sampang, dan tinggal lebih lama. Mari mencoba untuk mengenal masyarakat Madura yang ramah dengan rasa kekeluargaannya,” tutupnya. (Wid/MAS)