KOTA MALANG – malangpagi.com
Bertempat di kediaman Sam Anto Baret, Jalan Lowokdoro Gang III Kelurahan Kebonsari, Kecamatan Sukun, Kota Malang, perdamaian antarsuporter sepakbola di seluruh Indonesia digaungkan, Sabtu (8/10/2022).
Dalam tulisan Bachtiar Djanan berjudul Tragedi Kanjuruhan dan Algoritma Semesta disebutkan bahwa Aremania adalah sebuah sosiokultural yang terlahir dari rahim klub sepakbola Arema, 11 Agustus 1987. Setahun setelah Arema berdiri, muncullah Arema Fans Club yang dimotori Lucky Acub Zaenal, anak mantan Gubernur Papua periode 1973–1975, Brigjen Acub Zaenal.
Klub sepakbola Arema dan Arema Fans Club lahir di saat maraknya persaingan antargeng di Kota Malang sekitar tahun 80–90an. Seperti Arek Polehan (Arpol), Arek Samaan, GAS (Gabungan Anak Setan), RAC (Remaja Anti Cina), Anchor, Arek Kasin, dan sebagainya. “Tawuran antarkampung menjadi hal sangat lumrah pada masa itu,” tulis Bachtiar.
Arema sebagai gerakan kultural hadir untuk meredam egoisme dan fanatisme antargeng yang kerap diluapkan di lapangan hijau. “Saat itu, ketika Arema berlaga di Gajayana, tak jarang suasana menjadi mencekam. Arema menang saja terjadi kericuhan, apalagi kalah,” tulisnya lagi.
Seiring prestasi yang ditorehkan, Arema lambat laun menjadi magnet yang menyerap energi anak-anak muda Kota Malang, untuk mulai fokus pada laga klub kesayangannya.
‘Budaya’ tawuran antargeng pun mulai luntur. Tentunya energi positif ini tidak lepas dari peran Ovan Tobing, Lucky Acub Zainal, Iwan Kurniawan, Iwan Budianto, Eko Subekti, Leo Kailolo, dan sejumlah tokoh lainnya yang tak kenal lelah terus mendorong bersatunya suporter Malang.
Mulai saat itu, Kota Malang terbebas dari konflik antargeng. “Mereka yang berseteru telah melepas baju dan mengenakan kostum yang sama, berlogo Singo Edan,” catat Bachtiar Djanan, Aremania yang saat ini berdomisili di Medan.
Arema Fans Club yang akhirnya bertransformasi menjadi Aremania makin dikenal sebagai suporter yang fanatik. Tetap saja ada atmosfer mencekam di setiap pertandingan Arema. Namun keangkeran lebih ditujukan kepada klub lawan Arema. Tidak lagi kepada sesama warga Malang.
Tak ayal, saat bertanding di Malang membuat keder pemain maupun suporter lawan. Sumpah serapah, lemparan botol, bahkan plastik berisi air kencing, acap kali menjadi ‘hadiah’ bagi klub lawan yang mampu mencuri kemenangan. Perusakan, amukan, cacian, adalah tindakan yang kerap dilakukan saat Arema kalah.
Hal tersebut menjadi PR terbesar bagi para tokoh-tokoh Arema untuk menciptakan iklim sepakbola yang sehat dan suporter yang bijak. Adalah Ovan Tobing, penyiar radio Senaputra yang kerap berorasi, mengendalikan massa, dan menjadi ‘imam’ untuk mengajak suporter tetap solid, kompak, dan tertib. Selain itu juga mengedukasi suporter agar sadar untuk membeli tiket guna membantu keuangan klub. Ditegaskan Ovan Tobing, suporter dikatakan sukses jika senang saat timnya menang, dan lapang dada saat timnya kalah.
Kekompakan Aremania tidak diragukan lagi. Atraktif dan kreatif. Tahun 2008, Arema mendapat sanksi dari PSSI, lantaran saat laga Arema melawan Wamena, Aremania merusak dan membakar berbagai fasilitas di Stadion Brawijaya Kediri, karena tidak puas terhadap kepemimpinan wasit. Akibatnya, Aremania diganjar hukuman selama dua tahun dilarang mengenakan atribut Arema saat mendukung tim kesayangannya.
Dari sinilah Aremania mulai berbenah dan mengubah imejnya. Dari suporter fanatik barbar jahiliyah, kemudian hijrah menjadi suporter kreatif, cinta damai, sportif, loyal, namun tetap atraktif. Transformasi karakter tersebut serta merta memberikan warna baru bagi dunia sepakbola nasional.
Berkat kegigihan dan kekuatan tekad untuk menjadi suporter yang sportif, pada tahun 2000, Aremania diberi gelar sebagai pelopor suporter kreatif sepakbola nasional. “Berikutnya, Aremania juga dikukuhkan dengan anugerah suporter terbaik oleh Menpora dalam ajang Copa Indonesia 2006,” papar Bachtiar
Prestasi demi prestasi terus ditorehkan Aremania, hingga gelar suporter terbaik kembali disabet pada turnamen bergengsi Piala Jenderal Sudirman 2016. Tidak mengherankan jika suporter dari berbagai klub kemudian ‘berguru’ pada Aremania.
Kecintaan Aremania terhadap tim kebanggaannya dibuktikan pada gelaran Indonesia Super League 2010. Sekitar 40 ribu Aremania dari seluruh Indonesia berangkat ke Jakarta untuk mendukung laga Arema melawan Persija, yang membawa Arema menjadi juara kompetisi tersebut.
“Ini menjadi tour away terbesar di Asia, dan tersukses sepanjang sejarah persepakbolaan Indonesia. Data dari Forum Sepakbola Asia menyebut, Arema meraih penonton terbanyak antarklub di ASEAN, dan berada di peringkat tujuh di Asia,” tulis Bachtiar.
Mbois! Satu kata yang menggambarkan atraksi Areamania yang dapat dimaknai sebagai sesuatu yang keren, asyik, membanggakan, dan membahagiakan saat menyaksikan tim Singo Edan bertanding.
Tetapi kebahagiaan itu harus terampas saat tragedi kemanusiaan tiba. Tercatat 131 nyawa melayang, ratusan korban luka berat karena keracunan gas air mata, kehabisan oksigen, dan terinjak-injak oleh suporter lain karena panik, usai laga lanjutan Liga 1 antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya di Stadion kanjuruhan Kabupaten Malang, 1 Oktober lalu.
Peristiwa kelam tersebut menggugah duka dan simpati insan di seluruh belahan bimi. Jutaan suporter dari berbagai klub sepakbola di tanah air turut berbelasungkawa dan saling menggelar doa bersama.
Tidak terkecuali Bonek Mania, suporter klub Persebaya yang turut datang bertakziah dan menggelar aksi solidaritas, berdoa, dan tahlil bersama Aremania. Bermula dari peristiwa kelam sepanjang sejarah persepakbolaan di Indonesia itu, Bonek Mania bersama Aremania sepakat untuk mengakhiri perseteruan.
Tak hanya itu, dua kelompok seteru lainnya, Viking-Bobotoh dan Jakmania turut berikrar untuk berdamai pada 4 Oktober 2022 lalu, di Stadion Benteng Reborn Tangerang. Mereka saling berangkulan, berdoa, dan menangis bersama dalam balutan semangat persaudaraan.
Untuk menciptakan atmosfer perdamaian antarsuporter, Sam Anto Baret, tokoh sekaligus sesepuh Aremania mengajak dan menyerukan perdamaian. “Melalui tragedi Kanjuruhan, ayo buka pikiran dan batin seluruh suporter Indonesia. Bersama-sama untuk damai, mengubur benci, serta digantikan dengan cinta dan kasih sayang,” ucap Sam Ot, sapaan Anto Baret.
“Saat ini sudah waktunya kembali ke Pancasila. Sila ketiga, yaitu Persatuan Indonesia. Tuhan menginginkan umatnya untuk hidup damai dan rukun,” tegas pendiri KPJ (Kelompok Pengamen Jalanan) itu.
Sam Anto Baret pun mengungkapkan terimakasih kepada Bonek Mania dan suporter Indonesia, atas kepedulian, simpati, dan empati yang telah ditunjukkan. “Di Tugu Pahlawan kalian tahlil dan berdoa untuk Aremania yang gugur. Pada saatnya kita akan ketemu untuk kembali menerapkan Persatuan Indonesia. Dari Malang untuk suporter Indonesia,” ucapnya.
Salah satu lagu ciptaan Anto Baret dan sahabat karibnya, Iwan Fals, saat ini menjadi lagu tema perdamaian suporter se-Indonesia. Lagu berjudul Kabar Damai pernah direkam oleh d’Kross di album Damai pada 2008 silam.
Sementara itu, dalam catatan kecil Eddy Rumpoko berjudul Pejuang yang dikutip dari ameg.id, diceritakan bahwa pada 35 tahun lalu, Acub Zainal dan Ebes Soegiyono (ayah Eddy Rumpoko) bertemu untuk membicarakan rencana mendirikan klub sepakbola di Kota Malang. Hasil pembicaraan tersebut terus dikembangkan, dan lahirlah klub sepakbola bernama Arema.
Lahirnya klub Arema sejatinya terinspirasi dari Persebaya yang sudah eksis sejak 1927. Apalagi Ebes Soegiyono dan Acub Zainal merupakan fans berat tim sepakbola asal Kota Pahlawan tersebut. “Saya sedikit banyak tahu bagaimana berdirinya Arema. Maka saya sangat tidak setuju apabila ada yang menyebut Persebaya dan Arema adalah musuh bebuyutan,” tulis Eddy.
“Terlalu naif sebutan itu. Menurut saya, Persebaya dan Arema merupakan saudara kandung yang usianya terpaut 60 tahun,” sebutnya. (Har/MAS)