
KOTA MALANG – malangpagi.com
Nama KH Achmad Mudlor tidak asing di kalangan akademisi perguruan tinggi Islam di Jawa Timur. Semasa hidupnya, Abah Mudlor dikenal sebagai aplikator fighting spirit yang konsisten dengan cita-cita agungnya, dalam memperjuangkan peradaban umat Islam, terutama dalam bidang pendidikan.
KH Achmad Mudlor lahir pada 1937 silam di Desa Kauman, Kecamatan Babat, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, dari pasangan H Muchdlor dan Hj Nasiyah.
Diceritakan oleh Mohammad Danial Farafish, putra ketiga almarhum, ayahnya merupakan sosok pencetak sejarah dan telah banyak meninggalkan artefak perjuangan yang eksis hingga saat ini.
Gus Daniel, sapaan akrabnya mengisahkan, semasa hidup Abah Mudlor tak jarang meninggalkan keluarga demi mengutamakan urusan umat. “Keluarga memahami bahwa Abah Mudlor tidak hanya milik kami, melainkan milik umat,” katanya kepada NU Online Jatim, saat ditemui di kediamannya di Lembaga Tinggi Pesantren Luhur, Kota Malang, Sabtu (11/9/2021).
Abah Mudlor merupakan salah satu muassis (pendiri) beberapa perguruan tinggi Islam di Kota Malang. Salah satunya adalah Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang yang saat ini menjadi salah satu perguruan tinggi Islam terbaik di Indonesia, dan telah mencetak banyak tokoh berpengaruh di berbagai bidang.
Kiai Achmad Mudlor kini telah tiada. Namun anak cucu dan kadernya senantiasa mengenang sosok penuh spirit perjuangan yang berorientasi pada kemanfaatan. Bukan semata terperangkap ego mengembangkan kemakmuran pribadi.
Sosok Pengembara Ilmu
Tidak ada limitasi usia bagi siapa saja yang berhasrat mencari ilmu. Hal inilah yang menjadi motivasi para ulama besar menjadi seorang santri kelana.
Disarikan dari buku biografi berjudul ‘Mujtahid, Mujaddid, Mujahid’ cetakan kedua oleh konsorsium dari tim riset yang dipimpin Lia Sholicha, bahwa Abah Mudlor pernah menuntut ilmu di berbagai pondok pesantren.
Memasuki usia sembilan tahun, tepatnya ketika duduk di kelas III Madrasah Ibtida’iyah (MI), Abah Mudlor mulai tertarik melakukan perjalanan spiritual. Dimulai di pesantren asuhan Kiai Mudloffar, Lamongan.
Di sanalah dirinya mendapatkan keseimbangan terhadap ilmu-ilmu umum yang didapatkan di sekolah selama tiga tahun, sejak 1948 hingga 1951 sembari mengabdi kepada sang kiai.
Tak berhenti di situ, Abah Mudlor remaja meneruskan pengembaraannya di Pesantren Kendal, Bojonegoro selama kurang lebih dua tahun. Hingga pada akhirnya Ia hijrah menuju Pesantren Langitan, Tuban.
Di Pesantren inilah, Abah Mudlor menuai banyak pengalaman hidup. Di tempat ini juga, dirinya menemukan pintu pembuka fase kedua hidupnya, yaitu berjuang di Kota Malang.
Hal positif lain yang dilakukan Abah Mudlor muda di Pesantren Langitan adalah berinisiatif mendirikan forum halaqah yang berisi multidisiplin ilmu, tidak melulu mencakup ilmu keagamaan. Dimulai dari pembahasan tentang tasawuf, filsafat, hukum, sains, hingga ekonomi. Topik-topik tersebut bergilir memenuhi jadwal sirkulasi halaqah.
Prototipe Abah Mudlor adalah tak lekas puas dengan ilmu, baik ilmu umum maupun ilmu agama. Selama di Pesantren Langitan, Ia tidak lantas menjadi stagnan.
Dipicu semangat tholabul ilmi, Abah Mudlor kembali berkelana mengunjungi pesantren-pesantren ternama di berbagai Kota. Tidak untuk menetap lama. Cukup satu dua minggu sebelum kembali ke Langitan.
Abah Mudlor tergelitik untuk terus memperbanyak guru setelah membaca riwayat filsuf Imam Al Hakim at-Tirmidzi, yang memotivasi dirinya untuk memiliki semangat belajar tinggi.
Saat berkelana ke Yogyakarta, tepatnya di pesantren Assalam, saat masa liburan Pesantren Langitan, Abah Mudlor juga memperdalam bahasa Inggris dengan mengikuti kursus di dekat pesantren.
Tak berhenti di Yogya, Abah Mudlor muda melanjutkan pengembaraannya ke pesantren asuhan Mbah Suro, Cirebon. Serta masih banyak pesantren lain yang dikunjungi untuk belajar ilmu agama.
Hingga pada tahun 1961 lulus dari Propadiuse Akademi Pendidikan Agama Islam (APAI) Malang. Kemudian pada tahun 1962 lulus sebagai kandidat APAI. Ia kemudian lulus bakelariat FTT Malang tahun 1963.
Abah Mudlor lulus ujian doktoral I dan II Fakultas Tarbiyah Sunan Ampel Malang tahun 1966. Sedangkan di Fakultas Hukum Unsuri Jurusan Keperdataan dengan SK Ma’arif Jakarta lulus tahun 1988.
Selanjutnya lulus ujian doktor pada tahun 2000 hingga dikukuhkan sebagai Guru Besar Filsafat Ilmu pada tanggal 25 Juni 2001 di AIMS Jakarta.
Semangat mencari ilmu menjadi kuat dalam diri Abah Mudlor sesuai semboyan yang termaktub dalam kitab Taklimul Muta’allim, “Kulla yaumin ziyaadatan minal ‘ilmi, wa isbah fii bukhuuri al fawaaidi”. Yang artinya, setiap hari bertambah ilmu dan bergelimang dalam lautan yang berfaedah.
Tak Suka Memuji dan Dipuji
Gus Daniel, putra ketiga Abah Mudlor mengisahkan, dirinya menyaksikan sosok ayahnya sebagai seorang pejuang yang tegas dan tak mudah terbuai pujian.
Menurutnya, Abah Mudlor tidak pernah memuji orang sukses, bahkan muridnya sendiri sekalipun. “Sebetulnya hal ini bisa diterjemahkan sebagai bentuk motivasi bagi orang yang memahami. Agar kita senantiasa ikhlas dan tidak mudah terlena pleh pujian, serta mau terus belajar,” terangnya.
Maka tak heran, lanjut Gus Daniel, banyak santri Abah Mudlor yang kemudian menjadi tokoh hebat yang berpengaruh di masyarakat.
Lebih dari itu, keindahan teladan sosok Abah Mudlor dilengkapi dengan sikap zuhud-nya [mengalihkan kesenangan]. “Abah jarang sekali memberi kenikmatan hidup layaknya kaum elit,” tambah Gus Daniel.
Tujuannya tak lain adalah untuk membentuk mental kuat dan kreatif. Sebab Abah Mudlor tidak ingin anak-anak dan muridnya tidak siap menghadapi tantangan hidup yang semakin keras. “Ketika berjuang, targetnya adalah kemanfaatan dan rida Allah. Bukan pujian atau imbalan,” tambahnya.
Abah Mudlor dilahirkan sebagai seorang pejuang, bersama Moch Choesnoe dan KH Oesman Mansur, yang terlibat dalam mendirikan IAIN Sunan Ampel Malang, atau yang sekarang dikenal dengan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Abah Mudlor juga dikenang sebagai pencipta selawat Irfan, yang menjadi ciri khas dari UIN Malang. Beliau adalah teladan yang konsisten pada tujuan utamanyam dalam rangka berjuang li i’lai kalimatillah.
Dalam hidupnya, Abah Mudlor selalu memprioritaskan kemanfaatan pada orang lain. Untuk mencapai cita-cita besarnya, Ia memiliki semboyan hidup yang sering digemborkan kepada para santrinya.
“Jangan takut mati karena belum makan dan minum. Tapi takutlah mati karena tidak berjuang”. (Red)