MALANG PAGI – malangpagi.com
Pandemi yang tidak kunjung usai dari Indonesia, diperparah dengan pemikiran sebagian masyarakat yang tidak percaya adanya Covid-19, mengundang keprihatian para seniman dan budayawan yang tergabung dalam Komunitas Seniman dan Budayawan Kampung Celaket.
Tidak ketinggalan, seniman dan budayawan Malang Raya turut mengapresiasi. Di antaranya Mbah Yongki Irawan, Pak Suroso Topeng, Ki Suryo, dan Pak Benoh.
“Pelaksanaan ritual tolak bala ini merupakan gagasan secara spontan dari para seniman dan budayawan, yang berpikir apa sumbangsih para pelaku budaya dan seniman untuk negeri ini. Minimal kita memiliki kepekaan bagaimana melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Apalagi saat ini siklusnya menjadi varian delta yang lebih mengerikan,” ujar budayawan Yongki Irawan, Sabtu (31/7/2021).
Mbah Yongki, sapaan akrab guru tari senior itu, mengungkap banyak masyarakat yang memiliki pemikiran tidak sinkron dengan, mengatakan Covid-19 adalah rekayasa pemerintah. Mereka sengaja mengembuskan provokasi bahwa Covid sebenarnya tidak ada, dan hanya buatan pemerintah.
“Boleh lah berpikir seperti itu. Tapi realita menyuguhkan banyak teman kita, saudara, tetangga, bahkan keluarga tumbang. Paling miris tidak sedikit yang pasien harus meninggal kala berjuang dengan korona. Apa ini sebuah akal-akalan?” tanya Yongki.
Ia menegaskan, adanya pandemi bukanlah sebuah rekayasa, namun merupakan wujud siklus kehidupan.
“Masuk pada pancaroba. Panca artinya lima, dan roba adalah kejadian. Maka, lima kejadian ini masuk dalam kalamangsa, di mana kita tidak bisa memprediksi hujan, memprediksi kemarau, hingga terjadi pancaroba seperti banyak petani gagal panen, bencana melanda. Begitu pun, korona ini adalah bagian dari pancaroba,” jelas Mbah Yongki.
Kegiatan tolak bala yang dilaksanakan di lapangan Rampal Celaket tersebut dimulai dengan ritual dengan mengucap doa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dilengkapi ubo rampe yang identik dengan sesaji.
Ada pisang warna kuning dan hijau, kelapa, bubur, beras kuning, air 7 dari sumber, bunga, bubur, dan dupa yang disuguhkan dalam tampah. Setelah ritual rampung, dilanjutkan dengan menggelar arak-arakan yang diikuti sekitar 20 seniman dan budayawan.
“Arak-arakan mengelilingi wilayah Jalan Kaliurang, Jalan Lembang, Celaket gang 2, dan kembali ke Jalan Kasembon,” urai Ketua Pokdarwis Turonggo Djati sekaligus budayawan Kampung Celaket, Nanang Gustanto.
Ia pun menceritakan kegiatan arak-arakan disertai kegiatan bagi-bagi masker, bubur, dan hand sanitizer.
“Ini wujud sosialisasi agar masyarakat tetap mematuhi protokol kesehatan (prokes), dengan tetap memakai masker dan hand sanitizer. Sengaja kita lakukan arak-arakan untuk mencegah kerumunan, dan kita dapat jemput bola pada masyarakat,” imbuh Nanang.
Hal senada diungkapkan Wakil Ketua Pokdarwis Turonggo Djati, Sutarwan. Dirina mengamini bahwa tujuan dari kegiatan tolak bala adalah sosialisasi ke masyarakat bahwa Covid ada. Maka dari itu, seluruh warga diharapkan tetap menjalankan prokes dengan memakai masker.
Sutarwan menjelaskan bahwa ritual yang dilakukan adalah wujud syukur dari seniman dan budayawan kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta perenungan diri dan nyeyuwun agar pandemi segera berakhir dari Bumi Indonesia.
Saat ditanya filosofi dari ubo rampe yang disuguhkan, Sutarwan menjelaskan, bahwa cengkir atau kelapa gading yang masih muda adalah lambang kencenging pikir. Artinya dalam bertindak tidak hanya mengandalkan pikiran dan fisik, namun juga hati dan akal budi. Air putih sebagai lambang kesucian agar selalu bersih dan suci.
“Ada kembang sebagai sosialisasi diri untuk tetap menjaga kerukunan, utamanya saat pandemi. Pisang mentah sampai matang merupakan lambang proses pematangan diri manusia. Semoga dengan adanya pandemi ini, kita dapat menjadi pribadi matang dan kuat yang mengikuti proses alam,” imbuh Sutarwan.
Menariknya, saat arak-arakan berjalan, sejumlah budayawan menggotong replika peti mati dengan memakai Alat Pelindung Diri (APD) lengkap. Simbolisasi ini sebagai penyampai pesan langsung, jika tidak patuh prokes maka kematian akan menjemput.
Kegiatan ritual tolak bala ini turut mendapat apresiasi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang, Gagah Soeryo Pamukti.
“Saya pribadi sangat mengapresiasi gerakan yang dicetuskan oleh seniman dan budayawan Kota Malang. Apalagi hampir 2 tahun mereka puasa berekspresi. Menandu peti mati sambil berpakaian hazmat adalah bentuk action dan ekspresi mereka dalam melakukan sosialisasi kepada masyarakat, bahwa korona ada dan jika tidak taat maka kematian siap mengadang,” tutur Gagah.
“Jadi niatnya semuanya nyengkuyung. Bagaimana secara bersama-sama ngeruwat, berdoa, bersosialisasi, dan memberikan kesadaran pada masyarakat. Apalagi di area ini (Samaan dan Rampal Celaket) sempat zona merah. Meskipun saat ini sudah zona kuning, namun kita harus tetap waspada,” lanjut anggota legislatif termuda dari Partai Nasdem itu.
Pria kelahiran 20 Desember 1996 itu mengatakan, kegiatan yang diselenggarakan para seniman dan budayawan tersebut tidak melanggar aturan prokes.
“Kegiatan tidak lebih 20 menit, dan yang mengikuti tidak lebih 30 orang. Juga tidak ada acara makan-makan. Untuk arak-arakan, kita sudah izin pihak kepolisian, dan mereka bersedia mengawal. Alhamdulillah aman dan berjalan lancar,” pungkas Gagah. (Har/MAS)