KOTA MALANG – malangpagi.com
Ada yang berbeda saat digelar Rapat Paripurna dalam memperingati HUT ke 110 Kota Malang. Anggota legislatif dan yudikatif kompak mengenakan pakaian khas Malangan yaitu beskap warna hitam dilengkapi blangkon dan selembong bermotif batik gringsing, Sabtu (29/3/2024).
Dalam rapat paripurna istimewa yang digelar satu tahun sekali tersebut, Suryadi anggota Fraksi Golkar menyampaikan sejarah perjalanan Malang dari awalnya masuknya kolonial ke Malang hingga Malang menjadi Gemeente atau Kutapraja.
Disebutkannya, bahwa sejarah kolonial di Malang diawali pada tahun 1767, dimana Belanda untuk pertama kalinya memasuki Malang. Malang ditetapkan menjadi daerah yang langsung diperintah Belanda, artinya Malang resmi menjadi daerah administrasi Belanda ditandai dengan didirikannya benteng pertama di Malang yang letaknya kiri Sungai Brantas, tepatnya di Klojen Lor.
“Nama Klojen berasal dari Loji yang artinya daerah perbentengan kemudian berkembang menjadi keloji-an hingga disebut sebagai Klojen,” ungkap Suryadi.
Selanjutnya, pada tahun 1812 Malang dipersiapkan menjadi daerah penghasil kopi. “Pada saat Belanda di bawah kekuasaan Prancis pada tahun 1811 hingga tahun 1816 daerah jajahan Belanda diberikan kepada Pemerintah Inggris dan saat itu diperintah oleh Thomas Stamford Raffles. Ketika itu, di Malang dibuka daerah perkebunan kopi pertama yaitu kebun kopi Dinoyo, Batu dan Ngantang,” jelas Suryadi.
Di Malang objek pajak adalah pajak kopi karena menjadi objek ekspor paling primadona dan diberi penjaga khusus urusan kopi yaitu Koffie Sersgeant atau Sersan Kopi yang tugasnya berkembang menjadi pengawas daerah dan namanya menjadi Resident.
“Pada tanggal 9 Januari 1819 Malang menjadi bagian dari Karesidenan Pasuruan yang tertuang dalam Staadsblad Nomor 6 meliputi Kabupaten Malang, Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Bangil,” terangnya.
Politisi Golkar dapil Klojen tersebut membeberkan Kabupaten Malang terbagi menjadi 6 Distrik atau Kawedanan meliputi Karanglo, Pakis, Gondanglegi, Penanggungan, Ngantang dan Kawedanan Kota yang sekarang menjadi Kota Malang. “Untuk Kawedanan Kotta dibagi Onderdistrict atau Kecamatan yaitu Kidulpasar, Talloon, Kahooman, Leddok Padeyan, Jodeepan Kebalen, dan Cooto Lawas atau Kota Lama,” ujarnya.
Lalu, pada tahun 1830 mulai dibangun jalan dari Malang ke Surabaya. Pada saat tanam paksa atau cultuurstelsel Malang dipersiapkan menjadi pusat komoditi kopi, lada, kapas dan gula. Komoditas ekspor dari Malang naik pesat maka diperlukan akses jalan ke Surabaya yang memungkinkan untuk mengangkat hasil komoditi.
“Diberlakukannya Undang-Undang Agraria (Agrarischewet) dan Undang-Undang Gula (Suikerwet) oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1870 mengizinkan pihak swasta menyewa tanah pemerintah sampai maksimal 500 bau (1 bau =7096,5 meter persegi). Adanya Undang-Undang tersebut membuat perubahan besar bagi Malang dengan tumbuhnya perusahaan-perusahaan perkebunan, bank, hotel sekolah, rumah sakit dan tempat hiburan dan selanjutnya dibangun jaringan infrastruktur serta komunikasi membuat Malang menjadi kota terbesar kedua di Jawa Timur sampai sekarang,” terang Suryadi.
Pada tahun 1903, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Undang-Undang Desentralisasi (Decentralisatiewet) yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk membuat pemerintahan sendiri. Atas dasar Undang-Undang tersebut, Kotamadya Malang didirikan berdasarkan Staadsblad Nomor 297 pada tanggal 1 April 1914. Pada saat diresmikan Kuthapraja Malang masih belum mempunyai Walikota atau Burgermester. Jabatan Walikota masih dirangkap oleh Asisten Residence, baru pada tahun 1919 dilantik seorang Walikota yang pertama yaitu HI. Bussemaker sampai tahun 1929.
“Karena penetapan Kuthapraja Malang pada tanggal 1 April, maka Hari Jadi Kota Malang diperingati setiap tanggal 1 April hingga sekarang,” papar Suryadi.
Setelah menjadi Gemeente atau Kutapraja, Malang melakukan pembangunan diawali dengan rencana perluasan pembangunan kota yang dikenal dengan istilah Bouwplan.
“Bouwplan I dimulai pada tahun 1916 dengan membangun perumahan pertama di Malang yaitu daerah Oranjebuurt atau daerah keluarga kerajaan Belanda. Dilanjutkan, Bouwplan II dengan membangun pusat pemerintahan baru yaitu Alun-Alun Bunder atau disebut JP Coen Plant,” urai Suryadi.
Untuk rencana pembangunan Bouwplan III selanjutnya, difokuskan pembangunan komplek pemakaman di wilayah Sukun untuk orang-orang Eropa yang berdomisili di Kota Malang.
“Sedangkan, pada Bouwplan IV dilakukan pembangunan perumahan kelas menengah ke bawah di daerah Celaket dan Lowokwaru,” kata Suryadi.
Pada rencana Bouwplan V pada tahun 1924 direncanakan pembangunan jalan yang menghubungkan Alun-Alun dengan daerah Talun, taman olahraga di sekitar Jalan Semeru yaitu Stadion, Lapangan Hocky, 2 Lapangan Sepak Bola dan satu buah Club House yang mempunyai fasilitas kolam renang.
“Dibangun pula Jalan Ijen, Jalan poros Utara Selatan yang menjadi ciri khas Kota Malang dan taman-taman pertemuan dua jalan besar yaitu Semeru Plein, Boering Plein dan Ijen Plein,” jelasnya.
Untuk Bouwplan VI, terpusat pembangunan daerah pulau-pulau. Diantaranya Lombok Weg, Java Weg, Soemba Weg, Flores Weg, Madoera Weg, Bali Weg, Kangean Weg, Bawean Weg, Sapudi Weg dan Seram Weg.
“Dilanjutkan Bouwplan VII pada tahun 1940 yang merupakan kelanjutan dari Bouwplan V yaitu pembangunan perumahan elite di Jalan Ijen dengan penambahan fasilitas olahraga yang sangat menonjol yaitu Pacuan Kuda yang saat ini dikenal dengan Simpang Balapan.
“Terakhir, Bouwplan VIII dibangun daerah industri yang lokasinya dekat dengan rel kereta api dan trem. Selanjutnya, pembangunan dihentikan bersamaan masuknya Jepang ke Malang pada tahun 1942,” tandas Suryadi. (Har/YD)