
KOTA MALANG – malangpagi.com
Tim Gabungan Aremania (TGA) memberikan rekomendasi kepada Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) terkait hal-hal yang perlu disentuh dan diperjuangkan. “Pada prinsipnya kami mengapresiasi kinerja TGIPF menampung segala bukti-bukti, salah satunya yang kami serahkan. Setidaknya ada satu hal yang berbeda dan menjadi catatan serta perlu diperhatikan,” tutur pendamping hukum Tim Gabungan Aremania, Anjar Nawan Yusky dalam Konferensi Pers yang digelar di Posko TGA, Jalan Kawi No. 24C Kota Malang, Jumat malam (14/10/2022).
“Perlu diingat, dalam tragedi ini tidak hanya ada korban jiwa, tapi juga ada yang luka berat dan mengalami trauma psikis. Ini yang belum disentuh. Ini yang belum direkomendasikan,” terangnya.
Menurut Anjar, dalam perspektif penegakan hukum tidak bisa fokus pada korban jiwa semata. Korban yang mengalami luka juga perlu dibuktikan penyebab luka tersebut.
Lebih lanjut pria berkacamata itu mengatakan, tagar Usut Tuntas bertujuan untuk membuka seterang-terangnya apa yang terjadi dalam tragedi Stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober lalu. Tidak boleh ada yang ditutupi.
“Salah satu yang belum terakomodir adalah pemeriksaan terhadap korban-koran luka. Sampai hari ini belum mendapatkan keterangan jelas terhadap saudara-saudara kita yang dibawa ke rumah sakit atau rawat jalan. Masih belum ada kejelasan apa penyakit maupun luka yang diderita korban,” beber Anjar
“Untuk itu, kami bersama TGIPF, tentunya ingin memunculkan betapa pentingnya mencari tahu penyebab. Karena dalam peristiwa pidana, sebab akibat itu sangat penting,” tegasnya.
Dirinya lantas menyebutkan, ada salah satu korban luka yang mengadu pada TGA dan memaparkan kronologi kejadian yang menimpanya. ” Ini adalah rekam medis dari salah satu korban luka yang sempat mengadu ke TGA. Sedikit saya jelaskan, dari dokter yang memeriksa dan merawat disebutkan mata merah itu karena terinjak-injak. Sementara itu saat kami menggali keterangan dari korban, disampaikan bahwa area mata dan wajah tidak ada yang terinjak-injak,” papar Anjar
Berangkat dari fakta itulah muncul kecurigaan. Bagaimana bisa wajah tidak pernah terinjak tapi matanya merah. “Untuk itu kami melakukan pendampingan dan melakukan pemeriksaan pembanding sebagai second opinion ke dokter spesialis. Dan ini ada temuan awal bahwa ada hasil yang berbeda,” terangnya lagi.
Dari hasil pemeriksaan dokter spesialis, ditemukan penyebab mata merah tersebut salah satunya adalah karena pecahnya pembuluh darah di mata. Untuk memastikan pemeriksaan lebih spesifik, pihaknya pun melakukan konsultasi dan pemeriksaan ulang.
“Ada kemungkinan terjadi kebutaan ketika paparan zat dari luar [dokter tidak menyebut nama zatnya secara spesifik] itu mengiritasi mata, mengiritasi kornea, bisa jadi kecacatan permanen. Ini yang harus menjadi fokus kita bersama. Dan ini belum muncul dalam rekomendasi TGIPF. Sehingga menjadi catatan besar buat kami,” jelasnya.
Anjar juga menyampaikan bahwa rekomendasi TGIPF sifatnya tidak mengikat. “Artinya kita perlu kawal bersama. Ada stakeholder yang dituju, ada PSSI, TNI, Polri, PUPR, Kementerian Kesehatan, yang semua mendapatkan rekomendasi. Kita harus memastikan bahwa rekomendasi tersebut harus dijalankan. Itu yang lebih penting,” tegasnya.
Dalam pengawalan tersebut, termasuk dalam perspektif penegakan hukum harus dipastikan Polri mengakomodir, mendengarkan masukan-masukan dari TGIPF, tak terkecuali masukan dari korban. Karena sejatinya penyidikan itu dilakukan untuk kepentingan korban
Melalui rekomendasi dari TGIPF, pihaknya meminta Polri lebih mendengarkan masukan-masukan dari Aremania. “Kami dari bagian hukum sedang mengumpulkan bukti-bukti, sedang melakukan kajian, dan saat ini mempertimbangkan upaya perdata dan akan menuju ke pelanggaran HAM di pengadilan HAM,” sebut Anjar.
“Kami saat ini mengupayakan dalam rangka memberikan ganti rugi atau restitusi atau pengembalian hak kepada korban tragedi Kanjuruhan. Jika pemerintah tidak menjalankan atau tidak bertanggungjawab, maka kami siap menempuh jalur hukum,” tutupnya. (Har/MAS)