KOTA MALANG – malangpagi.com
Dewan Pengurus Pusat Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (DPP GMPK) menyampaikan tanggapan atas bocornya rekaman pembahasan monitoring capaian kinerja program Pemerintah Kabupaten Malang, dalam koordinasi dan supervisi pencegahan korupsi (Korsupgah) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Wilayah III.
Dalam rekaman tersebut, DPP GMPK menyoroti anggaran konsumsi rapat [makan dan minum] Pemerintah Kabupaten Malang sebesar Rp35 miliar, yang terjadi saat masa pandemi Covid-19.
Terkait munculnya angka fantastis tersebut, Sekjen DPP GMPK Abdul Aziz mengaku tidak menemukan logika atas jumlah anggaran yang sedemikian besar tersebut. “Rapat yang membutuhkan konsumsi [makan dan minum] dengan anggaran fantastis hingga Rp35 miliar, artinya, patut diduga tiap hari meeting. Apa benar rapat digelar tiap hari, bahkan dua hingga tiga kali dalam sehari pada masa Covid-19 berlangsung?” tanya Abdul Aziz, dalam rilis yang diterima Malang Pagi, Kamis (16/3/2023).
Menurutnya, dalam teori penganggaran dikenal dua prinsip, yakni efektifitas dan efesiensi. Keduanya menuntut adanya rasionalitas. Diksi penyidik KPK menyebut, wajar atau tidak. “Jika menyusun anggaran tanpa rasionalisasi dua prinsip tersebut, adalah sama dengan menyusun anggaran yang irasional,” sambungnya.
Pria yang menjabat sebagai CEO Firma Hukum PROGRESIF LAW itu menambahkan, jika Pemerintah Kabupaten Malang [Sekretaris Daerah Wahyu Hidayat] mengaku bahwa anggaran tersebut telah dikoreksi [ditindaklanjuti, terjadi perubahan, penurunan], maka pihaknya harus segera membuka ke publik. “Berapa serapan riil pasca ditanya KPK? Nilai dari 35 miliar turun ke berapa?” tanya Abdul Aziz lagi.
Di samping itu, pendapat Sekda dianggapnya bertolak belakang dengan pernyataan Kepala Inspektorat Tridiyah Maistuti, yang sejatinya bertindak sebagai Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP), dengan tugas utama melakukan pengawasan agar tercipta penyelenggaraan pemerintah yang jujur, bersih, akuntabel, dan transparan.
“Bila anggaran tersebut rasional, dan dari Rp35 miliar sudah terserap 94 persen, maka silang pendapat ini menggambarkan bahwa ada sesuatu yang patut dicurigai oleh publik, dan perlu ditindaklanjuti oleh KPK,” tegasnya.
Apalagi Kepala Inspektorat tampak menyesalkan, dan mempertanyakan apa maksud dibocorkannya rekaman tersebut oleh peserta rapat ke masyarakat. Sikap seperti ini jelas bertentangan dengan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik No. 14 Tahun 2008.
“Bahwa soal anggaran pemerintah itu wajib diketahui oleh publik karena hakikat masyarakat adalah mitra kritis dari pemerintah itu sendiri. Jadi, tidak benar jika, misalnya informasi tentang anggaran konsumsi rapat [makan dan minum] Pemerintah Kabupaten Malang terkualifikasi rahasia,” terang Abdul Aziz.
“Transparansi itu penting agar tidak ada syak wasangka [kecurigaan] di masyarakat. Karena anggaran yang digunakan sejatinya dari masyarakat, maka pertanggungjawaban pada publik sebagai ciri pemerintahan yang baik [good governance] mutlak dilakukan,” lanjut pria yang juga berprofesi sebagai advokat dan legal consultant itu.
Di luar itu semua, GMPK mendorong KPK untuk menjadikan substansi rekaman yang bocor sebagai bukti permulaan yang layak, untuk dilakukan proses penyelidikan dugaan korupsi. Hal ini penting dilakukan, agar kinerja dan kepercayaan terhadap KPK tidak turun.
“Peristiwa yang belum ditindaklanjuti komisi antirasuah ini harus menjadi koreksi bagi penyidik KPK bidang pencegahan, untuk selanjutnya bersinergi dengan penyidik KPK bidang pemberantasan [penindakan] korupsi,” ujar Abdul Aziz.
“Apalagi pengakuan Sekda dan pernyataan Kepala Inspektorat berbeda sama sekali. Di mana Sekda menyebutkan jika koreksi [teguran] KPK telah ditindaklanjuti [anggaran turun], sedangkan Kepala Inspektorat menerangkan sebaliknya. Mengatakan bahwa anggaran Rp35 miliar itu sudah terserap 94 persen,” pungkasnya. (MAS)