KOTA MALANG – malangpagi.com
Dalam setiap kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) kehadiran incumbent yang kembali maju menciptakan dinamika tersendiri. Di satu sisi, mereka memiliki rekam jejak dan pengalaman dalam memimpin daerah, namun di sisi lain, potensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) juga menjadi ancaman serius bagi integritas demokrasi.
Ketua DPC GRIB JAYA Malang, Damanhury Jab mengatakan bahwa penyalahgunaan wewenang ini tidak hanya menciptakan ketidakadilan dalam kompetisi politik, tetapi juga merusak prinsip dasar negara hukum, di mana keadilan seharusnya berlaku bagi semua calon tanpa pengecualian.
“Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2024 tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali Kota, menjadi salah satu landasan penting dalam pelaksanaan pemilu kepala daerah,” ujarnya.
Namun, dirinya menyebut bahwa di balik aturan yang bertujuan untuk memastikan proses demokrasi berjalan dengan baik, muncul potensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh calon incumbent yang kembali maju dalam kontestasi.
“Dalam konteks politik lokal, potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh incumbent bukanlah hal baru. Maurice Duverger dalam teori partai dominan menyatakan bahwa seorang pejabat yang sedang menjabat memiliki keunggulan struktural dalam pemilu, baik dari sisi pengaruh politik maupun penguasaan sumber daya,” tuturnya.
Damanhury Jab menjelaskan bahwa incumbent memiliki peluang besar untuk memanfaatkan aset-aset negara dan pengaruhnya demi kepentingan politik pribadi.
“Sebuah fenomena yang juga disebut oleh Robert Michels sebagai “hukum besi oligarki,” di mana pemimpin yang berkuasa cenderung mempertahankan kekuasaan mereka dengan memanipulasi mekanisme yang ada,” ungkapnya.
Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2024 secara eksplisit memuat sejumlah ketentuan yang bertujuan untuk mencegah potensi konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang oleh incumbent. Namun, dalam praktiknya, mekanisme pengawasan dan implementasi seringkali menghadapi tantangan.
Misalnya, seorang pejabat yang sedang menjabat dapat memanfaatkan anggaran daerah untuk program-program populis yang sejatinya ditujukan untuk meraih simpati politik. Kondisi ini menciptakan ketidakadilan bagi calon lainnya yang tidak memiliki akses ke sumber daya yang sama.
Dari perspektif politik pemerintahan, pakar seperti Harold Lasswell menekankan bahwa siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana, merupakan inti dari politik.
“Dengan demikian, incumbent memiliki keuntungan besar dalam mengendalikan alokasi anggaran, kebijakan publik, serta program-program pemerintah daerah. Bahkan, dalam beberapa kasus, proyek-proyek pembangunan yang diinisiasi jelang pemilu sering kali dijadikan alat kampanye terselubung,” jelss Damanhury Jab.
Masalah pengawasan menjadi tantangan utama dalam pencegahan abuse of power oleh incumbent. Meskipun Peraturan KPU sudah memuat aturan tegas terkait larangan penggunaan fasilitas negara, kenyataannya, pengawasan atas implementasi aturan ini sering kali tidak maksimal. Hal ini diperburuk oleh lemahnya sanksi hukum yang diterapkan terhadap pelanggaran oleh pejabat yang sedang menjabat.
Terkait sanksi hukum, UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah memuat ketentuan yang memberikan sanksi bagi pelanggaran kampanye, termasuk penyalahgunaan jabatan oleh calon incumbent. Pasal 71 ayat (1) hingga (3) mengatur tentang larangan penggunaan fasilitas negara, dengan ancaman pidana dan diskualifikasi bagi calon yang terbukti melanggar. Namun, penegakan hukum terhadap kasus-kasus seperti ini kerap kali melemah karena proses pembuktian yang rumit serta potensi intervensi politik.
Teori rule of law yang dikemukakan oleh A.V. Dicey menegaskan bahwa hukum harus berlaku setara bagi semua orang, tanpa terkecuali. Namun, dalam banyak kasus, pejabat yang sedang menjabat memiliki akses lebih besar terhadap lembaga penegak hukum dan birokrasi, sehingga mereka dapat memengaruhi proses hukum yang berjalan. Ini berpotensi menciptakan ketidakadilan dan merusak kepercayaan publik terhadap demokrasi.
Untuk meminimalkan abuse of power oleh incumbent, diperlukan langkah-langkah penguatan regulasi dan pengawasan yang lebih ketat. Pertama, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus memperkuat mekanisme pemantauan terhadap penggunaan anggaran daerah dan program pemerintah yang berpotensi disalahgunakan. Kedua, diperlukan peningkatan sanksi hukum yang lebih tegas dan segera dieksekusi, untuk menciptakan efek jera bagi para pelaku.
Selain itu, masyarakat sipil juga harus terlibat aktif dalam mengawasi perilaku calon incumbent. Edukasi politik yang terus-menerus dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil dan media massa dapat membantu meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya pemilu yang jujur dan adil.
Berangkat dari pembahasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2024 memberikan landasan penting bagi proses pencalonan dalam pemilu kepala daerah. Namun, peluang abuse of power oleh calon incumbent tetap menjadi ancaman nyata bagi demokrasi dan integritas pemilu. Dengan pengawasan yang ketat, penegakan hukum yang tegas, serta partisipasi masyarakat yang aktif, diharapkan potensi penyalahgunaan kekuasaan ini dapat diminimalisir, sehingga demokrasi berjalan dengan lebih sehat dan berkeadilan.
Dengan menempatkan kepentingan hukum dan etika politik di atas kepentingan pribadi, diharapkan calon incumbent dapat berkompetisi secara fair tanpa harus menyalahgunakan kekuasaannya. Hanya dengan demikian, kita dapat mewujudkan pemilu yang bersih dan bermartabat. (Red.)