![](https://malangpagi.com/wp-content/uploads/2023/04/Monumen-Lokomotif.jpg)
KOTA MALANG – malangpagi.com
Kini, publik Kota Malang dapat menyaksikan monumen lokomotif di Kayutangan Heritage, tepatnya di depan patung Chairil Anwar. Kehadiran monumen ini ternyata menuai pro dan kontra di masyarakat.
Walikota Malang Sutiaji menyebut bahwa peletakan lokomotif beryujuan untuk mengingatkan masyarakat, bahwa di kawasan Kayutangan pernah dilewati transportasi kereta api.
“Ada seseorang yang mempunyai keinginan untuk sedekah. Akhirnya kami pasang agar orang mengingat bahwa di sini pernah dibuat rel. Ini untuk menguatkan itu,” jelas Sutiaji kepada Malang Pagi, saat mendampingi tim juri Anugerah Desa Wisata Indonesia 2023 di Kampung Kayutangan Heritage, Sabtu (15/4/2023).
Dikatakannya, ke depan tidak menutup kemungkinan akan ditambah ikon-ikon lain yang Instragamable, sehingga para Tik-tokers pun dapat mengangkat citra Kayutangan.
Di sisi lain, pemerhati sejarah Tjahjana Indra Kusuma mengkritik keberadaan monumen lokomotif tersebut yang dirasa kurang tepat. “Baik secara estetika maupun kesejarahannya,” terangnya kepada Malang Pagi.
Secara kesejarahan, jenis lokomotif yang dipilih tidak sinkron dengan maksud yang ingin disampaikan. “Itu adalah eks lokomotif penarik lori tebu yang beroperasi di area pabrik gula Kebon Agung, yang jelas tidak ada jejaring relnya yang melintas di Kayutangan,” bebernya.
Dijelaskannya, yang melintasi Kayutangan adalah trem milik Malang Stoomstram Maatschappij, yang bentuk, dimensi, serta lebar relnya berbeda.
“Loko kuning itu lebar relnya 700 mm. Sedangkan trem di Kayutangan berukuran 1.067 mm, seperti milik PT KAI,” imbuh Indra.
Pemilihan lokomotif kuning tersebut menurut Indra akan menimbulkan misinformasi bagi wisatawan yang pertama kali mengunjungi Kota Malang. “Akan timbul dugaan bahwa wilayah tersebut pernah dilalui lokomotif kecil, yang identik dengan kereta api tebu (decauville), bukan terbayang sebuah trem,” sebutnya.
“Saya kira pengunjung atau wisatawan akan mendapatkan sebuah narasi sejarah yang salah tentang kawasan ini,” sambung Indra.
Lebih lanjut, Ia menceritakan pengalamannya bertemu beberapa anak muda saat jalan pagi. “Mereka berfoto-foto dan menduga bahwa lokomotif itu adalah trem yang pernah melintas di Kayutangan. Kemudian mereka pun saling berdebat,” tuturnya.
“Inilah contoh pengaburan sejarah. Bagi yang tidak memahami akan menduga demikian. Apalagi di sekitarnya tidak ada narasi yang menjelaskannya,” terang Indra.
Dirinya menegaskan, pemilihan jenis lokomotif yang salah tidak sesuai dengan hak wisatawan untuk mendapatkan keakuratan data sebuah obyek wisata. Dan ironisnya, ini dilakukan dengan sengaja oleh pemangku kebijakan kota.
“Hak wisatawan sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, pasal 20 (a),” papar Indra.
Secara data spesifikasi lokomotif yang ditelusuri Indra, lokomotif yang dijadikan monumen di Kayutangan adalah jenis lokomotif decauville eks Pabrik Gula Kebon Agung dengan nomer loko B4.
Lokomotif tersebut diproduksi oleh Christoph Schöttler Maschinenfabrik GMBH, Diepholz bei Bremen, Germany, atau lazim disebut pabrikan Schoema.
“Roda penggerak 4wDM dengan type CFL30J. Memiliki kekuatan daya kuda 42.5 hp dan beratnya 5.0 ton. Diproduksi pada 1972 dengan SN 3409, dan lebar roda 700 mm,” urai Indra.
Selaku pemerhati perkeretaapian, dirinya berharap agar ada kajian terhadap artefak sejarah lokomotif dan dipahami lebih mendalam oleh penetap kebijakan. Daripada kemudian menjadi elemen kawasan heritage yang tidak selaras.
“Saran saya, daripada menjadi polemik dan tidak sesuai kesejarahan kawasan, sebaiknya lokomotif tersebut dipindahkan ke Taman Kunang-Kunang, Jalan Jakarta,” ujar Indra.
Menurutnya lokasi tersebut lebih tepat, karena di pinggir sepanjang jalan tersebut dulunya adalah lintasan jejaring rel decauville Pabrik Gula Kebon Agung. Yang jejaringnya hingga ke Arjosari, Pandanwangi, dan Jatimulyo. “Lebih tepat ditempatkan di sana karena sesuai sejarahnya,” sebutnya.
Setali tiga uang, Restu Respati dari Komunitas Jelajah Jejak Malang sepakat bahwa keberadaan lokomotif di koridor Kayutangan kurang sesuai peletakkannya.
“Keberadaan lokomotif tersebut dimungkinkan ada, karena pihak Pemkot Malang mencoba mewadahi keinginan warga Kota Malang yang ingin ada monumen kereta api ada di koridor Kayutangan,” tutur Restu.
“Kita tentu ingat ditemukannya rel trem di sepanjang koridor Kayutangan saat pembangunan tiga zona pada 2020 lalu. Banyak warga Kota Malang yang kemudian menginginkan trem lama tersebut diaktifkan kembali untuk menunjang destinasi wisata. Tapi itu belum dimungkinkan dan banyak kendala,” imbuhnya.
Selanjutnya ada usulan minim peletakan lokomotif trem beserta rel dipasang di koridor Kayutangan, sebagai monumen pengingat bahwa di kawasan tersebut pernah dilewati trem.
“Pada 2022 lalu, Pemkot Malang memasang replika trem di pedestrian tepatnya di sisi sebelah timur Patung Chairil Anwar. Tapi replika trem ini banyak mengundang kritik dari masyarakat, karena bentuknya tidak sesuai dan kurang mendekati aslinya,” kata Restu.
Lalu pada 2023 ini, Pemkot Malang sepertinya ingin memperbaikinya dengan memasang lokomotif asli. “Sayangnya bukan lokomotif trem asli seperti yang dikehendaki warga. Tapi malah lokomotif lori atau kereta tebu, yang sama sekali tidak pernah melewati jalur Kayutangan,” terang pemerhati cagar budaya itu.
Menurutnya, masyarakat Kota Malang saat ini sudah melek sejarah. “Dibuktikan dengan semakin banyaknya komunitas sejarah yang bergiat di Kayutangan. Mereka menyayangkan hal ini. Lokomotif lori ini bisa mengaburkan sejarah Kayutangan dan Kota Malang, itu kata mereka,” jelasnya.
Di samping itu, sejumlah fotografer telah menghubungi dirinya dan mengeluhkan letak monumen lokomotif yang menurut mengganggu angle foto dan estetika dari keutuhan frame gambar.
“Kalau menurut saya, secara estetika memang terlalu penuh di satu titik. Dalam satu pandangan mata terdapat tiga ikon sejarah yang berbeda. Seolah malah saling bersaing dan menutupi. Lokomotif lori sebagai ikon baru justru menutupi ikon yang lebih dulu ada, yaitu monumen Chairil Anwar dan Gereja Hati Kudus,” terang Restu.
Agar kesalahan-kesalahan seperti ini tidak terus terulang, Restu menyarankan untuk melibatkanlah sejarawan, akademisi, atau komunitas sejarah dalam menata koridor Kayutangan. “Agar penataan dan kesejarahannya dapat dipertanggungjawabkan. Karena Kayutangan bukan dihidupkan lagi sekadar untuk keramaian, tapi juga harus memberi manfaat untuk ilmu pengetahuan,” pungkasnya. (Har/MAS)