KOTA MALANG – malangpagi.com
Lagi-lagi anggota DPRD Kota Malang melontarkan kritikan atas realisasi Pemotongan Tunjangan Penghasilan Pegawai (TPP) yang diberlakukan oleh Pemerintah Kota Malang kepada Aparatur Sipil Negara (ASN). Kali ini datang dari anggota Fraksi Partai PDI Perjuangan, Harvad Kurniawan Ramadhan.
Harvad menyoroti aturan pemotongan TPP Kota Malang yang mengacu pada Peraturan Walikota Malang Nomor 3 Tahun 2021 atas Perubahan Peraturan Walikota Malang Nomor 2 Tahun 2021.
“Dalam Perwal tersebut telah diatur mengenai potongan TPP yang merupakan hak ASN. Pemotongan dapat dilakukan karena tiga hal yakni terlambat kerja, pulang sebelum waktunya, dan tidak masuk kerja,” papar anggota Komisi A itu kepada Malang Pagi, Jumat (27/8/2021).
Dirinya berpendapat bahwa di Kota Malang belum ada regulasi yang jelas terkait pemotongan TPP selain dari tiga hal yang telah disebutkan.
“Sehingga terkait pemotongan untuk hal apapun tidak dibenarkan, selain dari hal-hal yang disebutkan dalam Peraturan Walikota. Apabila Pemerintah Kota Malang tetap kukuh melakukan pemotongan tersebut dengan unsur pemaksaan, maka bisa dikatakan itu melanggar Peraturan Perundang-undangan,” tegas alumni Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) angkatan 2010 itu.
Harvad menyampaikan, apabila Pemkot Malang melakukukan pemotongan atas dasar Surat Edaran atau surat apapun yang dikeluarkan melalui Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang berkaitan, hal tersebut juga tidak dibenarkan.
“Jika pemotongan tersebut diimpun dalam sebuah rekening, maka yang menjadi pertanyaan adalah, di rekening kas daerah atau di mana?” tanyanya.
Pihaknya juga menanyakan mengenai pertanggungjawaban Pemkot Malang terkait penggunaannya. Pasalnya, pemotongan TPP ASN dalam bentuk iuran atau apapun itu tidak bisa dilakukan.
“Pemotongan TPP tidak bisa dilakukan karena belum ada regulasi atau payung hukumnya. Sehingga jika tetap dilaksanakan akan keliru,” tegas anggota DPRD Kota Malang dapil Blimbing itu.
Jika Pemkot Malang berdalih pemotongan TPP untuk penanganan dan penanggulangan Covid-19, menurut Harvad, hal tersebut seharusnya tidak bersifat terorganisir dan sistematis melalui Perangkat Daerah.
“Apalagi jika ada surat yang dikeluarkan oleh OPD, maka itu sifatnya memaksa. Sehingga bisa dikatakan pungli (pungutan liar) yang seolah-olah dilegalkan,” tutup Harvad, yang membidangi Pemerintahan dan Hukum itu. (Har/MAS)