KOTA MALANG – malangpagi.com
Vandalisme yang terjadi pada bangunan eks Bank Commonwealth Kayutangan pekan lalu mengundang keprihatinan sejulam pemerhati sejarah di Kota Malang. Volunteer Cagar Budaya pun akhirnya melakukan aksi pengecatan, untuk menutup coretan cat bernada protes di beberapa bagian tembok bangunan cagar budaya tersebut.
Lantas, seperti apa sebenarnya nilai sejarah yang melekat pada bangunan eks Bank Commonwealth Kayutangan itu?
Berdasarkan penuturan pemerhati sejarah dan cagar budaya, Tjahjana Indra Kusuma, bangunan kembar yang berada di perempatan Kayutangan (Jalan Basuki Rahmat, Jalan Semeru, dan Jalan Kahuripan) tersebut dirancang oleh arsitek Karel HG Bos pada 1935, dan selesai dibangun setahun kemudian.
“Karya ini dikabarkan pada IBT (Indisch Bouwkunding Tijdschrift) Locale Techniek Nomor 3 Tahun 1936, yang merupakan karya fenomenal, sebagai penanda ujung pintu masuk kawasan Bergenbuurt (kawasan jalan gunung-gunung) dari poros Jan Pieterszoon Coen Plein (Taman JP Coen), dengan latar belakang Gunung Kawi jika dilihat dari sisi timur atau arah Balai Kota Malang,” jelas Indra kepada Malang Pagi, Jumat (20/8/2021).
Asesor kepemanduan permuseuman itu menambahkan, jalan poros ini dibuat dengan disertai pembangunan dua buah jembatan besar, di Van Riebeeck Straat (sekarang Jalan Kahuripan) dan Speelmaan Straat (sekarang Jalan Majapahit).
Keberadaan gedung di perempatan Kayutangan ini menjadi semacam penjuru dengan arsitektural khas sebagai gerbang menuju kawasan Bergenbuurt.
“Bangunan kembar yang dulu menjadi ikon Kota Malang pada awalnya di bagian utara dimiliki oleh taipan Tionghoa bernama Han Thiaw An, yang kemudian menjadi toko buku Boekhandel Slutter-C.C.T van Drop Co. Toko ini selanjutnya dibeli oleh keluarga Rajab Ally, dan hingga kini lazim disebut perempatan Rajab-Ally,” jelas Indra.
“Sedang bangunan bagian selatan awalnya adalah milik Tan Siauw King, saudagar perhiasan emas pemilik Toko Emas Juwelier Tan hingga 1964-an. Kemudian berpindah tangan dan disewa oleh Bank Commonwealth,” imbuhnya.
Indra menambahkan, gedung ini menjadi semacam landmark berupa gapura ke arah kawasan Bergenbuurt dan Kawasan Kayutangan, sebagai pusat perdagangan setelah era modernisasi arsitektural dengan multi blok toko, di mana dalam satu blok terdiri dari beberapa toko dan menyatu.
Dalam buku “Bangunan Cagar Budaya Kota Malang” yang diterbitkan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Malang (2018), disebutkan bahwa gaya arsitektur yang dimiliki bangunan eks Commonwealth ini merupakan aliran Nieuwe Bouwen, yang mengutamakan aspek fungsional untuk beradaptasi dengan iklim setempat. Di bagian atas gedung terdapat menara yang berfungsi untuk mengamati kondisi sekitar.
Begitu tertatanya bangunan ini hingga menjadi ikon Kota Malang. Tak mengherankan jika Pemerintah Kota Malang lantas menetapkan gedung bersejarah dan pernah berjaya di masanya menjadi Bangunan Cagar Budaya, dengan Surat Keputusan Wali Kota Malang Nomor 185.45/364/35.73.112/2018 tertanggal 12 Desember 2018, dengan nomor register P02016081800007.
Seiring berjalannya waktu, gedung yang difungsikan sebagai bank swasta ini kini kondisinya kurang terawat. Bahkan bisa dikatakan tak difungsikan, hingga tangan-tangan jahil bisa leluasa mengotorinya.
Menangapi vandalisme yang terjadi di bangunan eks Bank Commonwealth Kayutangan, Indra mengungkapkan bahwa aksi vandalisme harus dilawan bersama-sama.
“Masyarakat harus ditumbuhkan semangat untuk merawat, menjaga, dan ikut memiliki terhadap nilai penting bangunan, situs, struktur, benda, maupun kawasan Cagar Budaya,” tegasnya.
“Saat semangat tersebut sudah tumbuh, serta mampu memahami pentingnya keberadaan Cagar Budaya di sekitarnya sebagai bagian dari jati dirinya, maka vandalisme diharapkan akan lenyap,” lanjut Indra.
Ia menambahkan, perlu adanya sosialisasi bagi khalayak didukung peran media, guna memahami nilai Cagar Budaya dengan merawat dan turut menjaga sebagai bagian dari jati diri sebuah kota.
Hal senada disampaikan pecinta sejarah, Agung H Buana, yang merasa prihatin karena aksi vandalisme tidak hanya terjadi pada Bangunan Cagar Budaya yang berada di Jalan Basuki Rahmat ini, namun juga pernah terjadi di Jembatan Majapahit pada 2019 silam.
“Terlebih lagi Bangunan Cagar Budaya eks Bank Commonwealth telah diberi penanda berupa prasasti yang terbuat dari marmer hitam yang mudah dilihat oleh siapa pun,” ujarnya.
Dirinya menjelaskan, dalam penanda tersebut terpampang jelas tulisan bahwa bangunan tersebut dilindungi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2018. Hal ini berarti perlindungan dan pengamanan Cagar Budaya telah mendapatkan payung hukum.
“Namun sangat disayangkan, vandalisme Bangunan Cagar Budaya ini terjadi sudah relatif lama. Kemungkinan beberapa bulan lalu dan tanpa ada kepedulian dari pihak manapun, termasuk pemangku kepentingan maupun lainnya, termasuk komunitas peduli,” ucap Agung..
Sekretaris TACB (Tim Ahli Cagar Budaya) Kota Malang periode 2018-2021 itu menduga masih banyak pihak terkait Cagar Budaya mendahulukan aspek legal formal dan argumentasi yang bersifat normatif, dibandingkan melakukan aksi nyata yang ditunggu masyarakat.
Dirinya berharap, perlu adanya upaya untuk meningkatkan kepedulian pada Cagar Budaya, baik dari pemangku kepentingan maupun komunitas peduli.
“Jangan sampai adanya pandemi ini menyebabkan kepedulian terhadap cagar budaya menjadi menurun. Pemindahan interaksi sosialisasi kecagar budayaan dari kondisi nyata menjadi maya (online) perlu dilakukan terus-menerus,” pungkas Agung. (Har/MAS)