
KOTA MALANG – malangpagi.com
Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKAUB) Malang kembali menggelar Barikan Anak Nusantara ke-4 di Kota Malang, bertempat di Alun-Alun Merdeka Malang, Sabtu (16/8/2025).
Kegiatan yang rutin dihelat sejak 2022 ini menghadirkan ratusan pelajar lintas jenjang, mulai dari TK hingga SMA, sebagai wujud nyata merawat kebhinekaan dan moderasi beragama.
Sekretaris Jenderal FKAUB Malang, Pendeta David Tobing, menyebut tahun ini sebanyak 530 anak dari 35 sekolah dan lembaga pendidikan turut berpartisipasi. Mereka hadir mewakili enam agama yang diakui di Indonesia, ditambah penghayat kepercayaan.
“Semua penggerak dalam kegiatan ini adalah anak-anak, mulai dari MC, penampil tarian, hingga pendoa. Kami ingin menanamkan semangat moderasi beragama sejak dini agar 20 sampai 30 tahun mendatang mereka terbiasa hidup berdampingan dalam perbedaan,” ujar David.
Dengan mengusung tema Merawat Moderasi, Mewujudkan Kedamaian Nusantara, acara tahun ini diwarnai doa bersama dari tujuh agama dan kepercayaan. Doa-doa tersebut dipanjatkan oleh anak-anak, mencakup harapan bagi ekonomi, politik, korban bencana, hingga perdamaian bangsa, sejalan dengan semangat menuju Indonesia Emas 2045.
David menambahkan, Barikan menjadi simbol kolaborasi budaya, agama, dan kepercayaan menjelang peringatan HUT ke-80 Republik Indonesia.
“Barikan adalah budaya asli Indonesia. Di luar negeri tidak ada. Jadi ini adalah ruang kebersamaan yang khas dan membanggakan,” tegasnya.
Turut hadir dalam acara tersebut, Ketua DPRD Kota Malang, Amithya Ratnanggani Sirraduhita, yang memotong tumpeng sebagai simbol doa bagi keberkahan kota dan bangsa. Ia mengapresiasi pelaksanaan kegiatan yang digelar di ruang terbuka Kota Malang.
“Ini kegiatan yang sangat positif dan luar biasa. Anak-anak tidak hanya berinteraksi, tetapi juga belajar meresapi makna kemerdekaan dengan cara yang hikmat. Saya berharap kegiatan seperti ini bisa rutin, bukan hanya insidental,” tutur Amithya.
Ia juga menekankan pentingnya peran orang dewasa dalam mendampingi tumbuh kembang anak.
“Hari-hari anak harus diwarnai dengan hal yang bermakna. Perbedaan jangan dilihat sebagai penghalang, tapi justru sebagai keunikan yang membuat kita kuat dan bersatu,” pungkasnya. (Dik/YD)