
Bremen-malangpagi.com
Beredar tulisan di akun Facebook milik Tuti Pöpelmeyer yang menyatakan bahwa dengan satu kartu yakni KTP maka bisa digunakan apa saja. Yang artinya, bahwa KTP Jerman yang dimiliki oleh warga negara yang tinggal di negara Jerman merupakan kartu sakti.
Bahkan, dengan viralnya tulisan tersebut menjadi bahan berita oleh sebuah media yang dipublikasikan di beberapa kota di Jerman.
Dalam hal ini, dengan munculnya tulisan di akun Facebook milik Tuti Pöpelmeyer ini, salah satu warga negara Indonesia yang tinggal di Bremen, Jerman, merasa geram. Dan, mengatakan bahwa semua itu tidak benar.
“Itu semua yang ditulis dalam akun Facebook milik Tuti Pöpelmeyer tidak benar, itu HOAX,” kata Debora Luttkus , Rabu (20/3/2019), salah satu warga Indonesia yang tinggal di Bremen, Jerman tersebut.
“Semalam saya mengetahui, bahwa salah satu teman saya di sini menulis status soal KTP Jerman yang disebutnya “sakti”. Namun, setelah saya baca dan saya tanyakan ke sesama Diaspora di Indonesia yang tinggal di Jerman, ternyata kesimpulan kami sama, yaitu yang dituliskan di status ini banyak kelirunya,” jelas dia.

Tidak hanya menilai bahwa tulisan itu tidak benar, untuk itu, lanjut Debora, bersama teman-temannya dia akan mencoba menelaah satu per satu poin yang diutarakan dalam status tersebut.
“Pertama, KTP Jerman apakah itu untuk WNJ (der Personalausweis) atau WNA yg berdomisili di Jerman (der Aufenthaltstitel; residence permit) BUKAN kartu sakti. KTP Jerman memang sudah e-KTP tapi itu sifatnya Opsional. Maksudnya adalah masing-masing orang bebas memilih KTP nya bisa dipakai online atau tidak, setiap orang bisa mengaktifkan sendiri fungsi online tersebut. Walaupun demikian, data diri personal penduduk tidak terhubung dengan semua departemen atau instansi kepemerintahan di Jerman ataupun kedutaan Jerman di seluruh dunia. BULLSHIT! Mengapa? Karena Pemerintah Jerman teramat sangat menjaga privasi penduduknya. Privacy policy alias Datenschutz. Kerahasian data diri masing2 penduduk dijaga sekali. Departemen X tidak akan mungkin membagikan begitu saja data diri kita ke Departemen Y jika tidak ada persetujuan dari kita. Selain itu pihak Pemerintah juga belim mempunyai bank data yang mampu menampung semua informasi yang sekiranya bisa tersimpan dalam chip eKTP seluruh warga Jerman,” terang dia.
Debora menjelaskan, masing-masing departemen atau kantor pemerintahan atau instansi tertentu harus punya scanner atau card reader khusus untuk membaca data dalam eKTP tersebut.

Dan, belum semua memilikinya. Perusahaan-perusahaan pun masih pakai cara konvensional kalau menerima pekerja baru. Karena penggunaan eKTP itu pada kenyataannya masih kurang populer, kurang berguna bagi sebagian besar penduduk Jerman dan menurut pegawai di kantor Imigrasi sendiri cenderung berbelit-belit.
“Pemilik eKTP kemudian harus memiliki scanner atau card reader untuk menunjang pemakaian kartu tersebut. Ya, untuk memverifikasilah pastinya, kalau misal eKTPnya hilang atau dicuri dan yang menemukannya ternyata punya sidik jari pemilik, lalu digunakan online, pemilik eKTP sudah jelas kalah. Teknologi skimming itu di dark net dari A sampai Z bisa terurai detail penjelasannya,” urai dia.
“Kedua, Aufenthaltstitel itu pengganti visa, dan Aufenthaltstitel hanya berlaku jika kami imigran bisa menunjukkan paspor saat dibutuhkan. Ada hukumnya soal hal tersebut. Aufenthaltstitel (residence permit card) bukan kartu sakti,” tambah Debora.

Kemudian, yang ketiga, lebih lanjut dijelaskan olehnya, saat ingin membuat SIM Jerman tentu saja Departemen yang terkait (Straßenverkehrsamt) tahu syarat-syarat apa saja yang notabene adalah sebagai imigran pemegang Aufenthaltstitel butuhkan.
“Kan, mereka yang membuat aturan, masa iya mereka nggak tahu syarat-syaratnya. Emang di Indonesia atau negara lainnya selama ini seperti apa?” tanya dia.
“Lagipula, pihak Sekolah Mengemudi pasti sudah hafal syarat-syarat bagi imigran seperti saya yang harus dipenuhi untuk bisa mengikuti kursus mengemudi baik itu teori dan praktek. Lagian, cek syarat-syarat online juga bisa pastinya,” ujar Debora.

Menurut dia, saat mendaftar ingin mengikuti Kursus Mengemudi, jika sebelumnya pendaftar pernah punya riwayat tidak baik misal seperti tertangkap tangan oleh Polisi membawa atau memakai narkoba atau mengemudi padahal tidak punya SIM Internasional atau SIM Jerman, pihak departemen yang bersangkutan memang sudah memiliki laporannya dari Kepolisian.
“Keempat, kursus Bahasa Jerman itupun wajib diikuti oleh imigran yang tinggal di Jerman. Pihak Imigrasi (Ausländerbehorde) yang berwenang memperpanjang visa (Visa Nasional) dan juga memberikan ijin tinggal (residence permit) mengharuskan kami untuk mengambil kelas kursus bahasa. Komplit informasi yang diberikan oleh pihak Imigrasi. Dan, ini bukan karena KTP lho ya,”
Dilanjutkan Debora, kelima, mengenai asuransi kesehatan, pihak asuransi tidak bisa langsung tahu begitu saja lewat data yang tertera di (dalam) KTP. “Pernah dengar yang namanya Formulir, saat mengajukan atau mengurus asuransi kesehatan. Ya, tetap harus mengisi formulir, dan dari data di formulir itulah pihak asuransi bisa menawarkan program atau paket produk mereka. Dan, misal kasusnya menikah dengan WNJ dan sebelumnya belum pernah bekerja di Jerman, maka status asuransi kesehatannya atas nama pasangan (keluarga),” tandas dia.
“Keenam, mengenai nomor Pajak itu tidak otomatis mendapatkannya. Oiya dan di Jerman ada 2 jenis, mirip-mirip istilahnya tapi beda artinya. Ada Steuer-ID dan ada juga Steuernummer. Steuer-ID itu juga biasa disebut Persönliche Identificationsnummer (nomer identifikasi pesonal), ada 11 digits dan semua yang berdomisili di Jerman (setelah melaporkan diri ke kantor Dispendukcapil setempat) mendapatkannya termasuk baby baru lahir setelah orang tua mengurus Akte Lahir, maka baby akan mendapatkannya juga. Kantor Pajak (tax office; Finanzamt) yang mengeluarkan nomer ini,” imbuh Debora.
“Steuernummer itu untuk yang bekerja atau mempunyai usaha, ada 13 digits dan tidak atau selalu berlaku seumur hidup nomernya seperti Steuer-ID, karena kalau pindah wilayah tinggal nomernya akan berubah juga,” jelas dia.
Debora menekankan, bahwa keduanya dibutuhkan untuk kepengurusan pajak juga keperluan lainnya (Steuer-ID lebih sering terpakai). Dan, ini hanya bisa dilihat online kalau punya eKTP (ingat eKTP itu opsional).

Poin ketujuh, soal kena tilang dan surat tilang langsung sampai ke alamat rumah itu bukan sesuatu yang sakti. Nomer plat mobil itu ketahuan milik siapa, karena memang waktu mengajukan permohonan harus melampirkan KTP juga beserta syarat lainnya. Dikirim ke alamat yang sesuai dengan kepemilikan plat mobilnya, supaya pemilik mobil mengidentifikasi wajah yang terambil gambarnya, apakah wajah pengemudi itu diri pemilik mobilnya atau orang lain.
Jadi, menurut Debora, kalau yang mengemudi itu bukan pemilik plat mobil yang bersangkutan atau yang namanya tidak terdaftar untuk pengunaan mobil bersama, maka nggak ada hubungannya KTP pengemudi dengan nomer plat mobil.
“Apakah masih bisa dikatakan KTP Jerman itu sakti?” tanya dia lagi.
Lalu, poin kedelapan, sekolah lagi atau kuliah dan yang serupa.” Well, tanpa harus mengeluarkan KTP dari dalam dompet pun, kalau sekadar cari informasi, ya dikasih tahu sama pihak penyelenggara pendidikan. Kalau sudah bisa memenuhi persyaratan barulah diproses enrollmentnya. Apa yang spesial dari hal ini, karena KTP,” ucap Debora.

Untuk poin, kesembilan, sebagai imigran saat menganggur dan ingin cari pekerjaan bisa datang ke Departemen Tenaga Kerja, perlu juga menunjukkan KTP. Karena, jika di KTP tidak tertera tulisan Erwerbetättigkeit Gestattet alias memiliki working permit (ijin kerja), tentu tidak boleh bekerja. Dan, misalnyapun punya working permit, bukan artinya langsung otomatis pihak Depnaker paham situasi orang tersebut. Disini, tetap ada wawancara juga.
“Biasanya yang mencari kerja ke Depnaker itu cenderung akan dipaksa mengambil lowongan yang tersedia pada waktu itu, apa saja. Termasuk jarang sekali yang bisa mendapat pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan sebelumnya, dan Depnaker tidak pandang bulu. Mau orang Jerman kek, mau imigran kek, statusnya sama saja,” tandas Debora.
“Dan, kalaupun Depnaker menyarankan sekolah vokasional (Ausbildung) atau kursus lanjutan lainnya (Weiterbildung) hampir selalu yang melenceng dari keinginan pelamar, Depnaker bisa membantu finansial para pencari kerja jika memerlukan Weiterbildung misalnya, tapi ini pun harus memenuhi kriteria tersendiri dan tidak bisa dilihat dari data eKTP,” tambah dia.
“Poin, kesepuluh, tunjangan anak dan orang tua ada 3 jenis, yaitu, Kindergeld (tunjangan anak sampai usia 18 tahun), Elterngeld (tunjangan orang tua), dan Mutterschutz (tunjangan khusus ibu). Ketiganya memiliki syarat-syarat untuk bisa mendapatkannya. Dan, ini didapat bukan karena KTP,” tegas dia.

Kembali diterangkan olehnya, Kindergeld baru bisa didapat setelah pengurusan Akta Lahir Anak dan pengurusan ke Familienkasse (family benefits dept.) selesai. Elterngeld dan Mutterschutz (dapat dari asuransi) juga demikian.
“Kalau masih hamil, tidak dapat tunjangan dari Pemerintah. Bisa mencoba mendapatkan bantuan sosial dari institusi privat semacam Diakonie atau yang serupa lainnya. Ini pun, hanya untuk golongan ekonomi tidak atau kurang mampu yang nantinya perlu dipertanggungjawabkan penggunaan uang bansosnya untuk keperluan baby atau bukan,” jelas Debora.
“Dan, tunjangan ini semua bisa didapatkan tanpa memerlukan eKTP sama sekali, cukup menuliskan Steuer-ID (nomer identifikasi pajak),” imbuhnya.
Selanjutnya poin terakhir, kesebelas, bantuan jaminan sosial dari Pemerintah misalnya semacam Hartz IV atau Arbeitlosengeld (unemployment-welfare benefits), sebelum mendapatkannya harus daftar dulu ke Depnaker (Bundesagentur für Arbeit). Bawa KTP dan syarat lainnya ke Depnaker yang membuktikan bahwa dirinya pengangguran dan memerlukan jamsos. Bisa daftar online atau langsung mengisi formulir ke Depnaker.
“Tidak bisa sekadar punya KTP lalu clink, dana jamsos cair. Nah, dengan KTP ini jaminan sosial akan cair. Emang sulap,” ucap dia.
Kembali Debora menegaskan, sekali lagi, KTP Jerman bukan kartu sakti seperti yang sudah dituliskan di status mantan temannya FB itu.
“Entah kenapa semalam saya dan teman-teman pendukung 01 diunfriend sama yang bersangkutan, padahal banyak dari kami belum komen apa-apa soal tulisannya. Untung, saya sudah skrinsyut duluan statusnya yang sudah dibagikan ribuan orang,” tegas dia.
Semua penduduk di Jerman masih punya dan pakai Kartu Asuransi Kesehatan dan yang pakai eKTP sekalipun masih punya kartu tersebut. Setiap kali berhadapan dengan urusan birokrasi, Jerman tetaplah yang rumit seperti yang selama ini dikenal. Paper A, paper B, paper C. Pemerintah Jerman, masih suka menggunakan kertas.
Residence Permit Card atau kartu ijin tinggal untuk imigran hanya sah jika digunakan bersamaan dengan paspor yang masih berlaku. Karena, paspor Indonesia masa berlakunya hanya 5 tahun, maka untuk yang punya kartu ijin tinggal permanen diganti kartunya selama 5 tahun sekali mengikuti paspor. Kalau kartu ijin tinggal biasa, tergantung imigrasinya, cenderungnya per 3 tahun ganti baru.
Sekalipun menggunakan fungsi eKTP, data personal pemilik kartu hanya bisa diakses jika kartunya discan. Jadi, tidak benar jika data KTP warga Jerman bisa begitu saja terhubung di semua departemen atau instansi Pemerintah dalam dan luar negeri. Jerman terkenal sangat ketat soal perlindungan privasi atau kerahasian data.
“Biarpun pakai eKTP akan tetap ketemu yang namanya formulir ini itu. Bedanya dengan KTP biasa, kadang saat pengisian formulir bisa lebih cepat karena kolom dan baris formulirnya otomatis terisi data dalam eKTP, ini pun kan datanya dimasukin dulu lewat App khusus. Kalau KTP biasa, berarti perlu menulis atau mengetik sendiri saat mengisi formulir,” tutur Debora.
“E-Ausweis ist ja nur für die Behörde um sich elektronisch zu legitimieren, das ist keine Zaubererkarte.” (Tanda pengenal elekronik–eKTP– hanya dipakai Pemerintah untuk melegitimasi data diri secara elektronik, bukan kartu sakti.” tegas dia.
“Akhir kata, jangan hanya karena persoalan Pilpres saja lalu memberikan informasi yang tidak benar ke publik luas. Yang sudah tinggal di Jerman pun jangan gelap mata, tutup telinga. Tanyakan hati kecil kalian, baikkah yang kalian lakukan itu?” pungkas Debora.
Reporter : Red
Editor : Putut
Sumber : Debora Luttkus, Bremen, Jerman