KOTA MALANG – malangpagi.com
Event akbar Malang 108 Rise and Shine yang digelar di kawasan Kayutangan pada Minggu (5/6/2022) lalu sejatinya adalah sebuah bentuk promosi untuk mengenalkan Kayutangan Heritage. Hal tersebut disampaikan Kepala Dinas Kepemudaan Olahraga dan Pariwisata (Disporapar) Kota Malang, Ida Ayu Made Wahyuni.
“Heritage ini kan warisan budaya yang terdiri dari kawasan, bangunan, situs, benda, dan struktur yang berusia lebih dari 50 tahun. Mewakili masa gaya saat itu, serta memiliki keterikatan dan arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, agama, dan kebudayaan. Maka, kami ambil Kayutangan ini, karena jika disambungkan dengan Alun-Alun dan jalan gunung-gunung akan mendekati kawasan cagar budaya,” beber perempuan asal Bali tersebut.
Lebih lanjut Ida menyampaikan, Pemerintah Kota Malang berkonsentrasi terhadap pemanfaatan kawasan Kayutangan, dan telah melakukan upaya mencari CSR (Corporate Social Responsibility) guna melakukan pengecatan di koridor Kayutangan, agar konsep heritage benar-benar menonjol.
Meskipun begitu, Kayutangan belum masuk kawasan cagar budaya, karena hanya terdapat beberapa bangunan yang ditetapkan sebagai cagar budaya. Seperti gedung PLN, Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN), Bank Indonesia, eks Bank Commonwealth, dan ODCB (Obyek Diduga Cagar Budaya) BNI 46. “Namun ke depan akan menuju arah penetapan kawasan,” jelas Ida.
“Untuk membranding Kayutangan, kami tampilkan ekonomi kreatif, fashion street, video mapping, dan pertunjukan musik di kawasan Ibukota Heritage ini. Dan perlu digarisbawahi, meskipun di Kayutangan banyak bangunan tua, tetapi jika tidak memiliki nilai sejarah, agama, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, maka tidak dapat disebut sebagai heritage,” tuturnya
Sementara itu, anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Isa Wahyudi menilai, pengenalan wisata dalam balutan acara Malang 108 Rise and Shine dinilai kurang mengenalkan konsep heritage yang sesungguhnya. “Membeludaknya pengunjung di Kayutangan Heritage karena rindu akan keramaian usai pandemi dan kangen konsep wisata tempo dulu. Sayangnya, gelaran di Kayutangan ini tidak memakai kemasan heritage . Tapi memakai kemasan yang umum, bebas, dan tidak menampilkan tema tertentu,” kritik pria yang biasa disapa Ki Demang itu.
Ketua Forkom Pokdarwis Kota Malang itu memandang, acara tersebut memang dirancang untuk mengangkat heritage dengan cara menampilkan bangunan-bangunan cagar budaya yang ada di sekitaran Kayutangan. Salah satunya Gereja Bunda Hati Kudus Kayutangan. “Patut disesalkan, pengenalan ini tidak sampai ke bangunan PLN, yang notabene merupakan zona satu. Padahal di zona ini view-nya paling bagus,” terangnya.
Dikatakannya, event ini adalah media terpusat dan tepat. Karena masyarakat selama dua tahun terakhir membicarakannya tentang Kayutangan. “Kayutangan adalah ikon Kota Malang, dan komunitas berkesempatan untuk mengisi, ketika koridor Kayutangan dijadikan untuk Malang Heritage,” ujarnya.
Menurut Ki Demang, secara keseluruhan gelaran musik di Kayutangan bagus dan kreatif, serta mewakili karakter Arek Malang. Dirinya pun menilai, promosi pariwisata yang diusung sudah memadai. Namun dalam mengenalkan cagar budaya dinilainya masih kurang. “Sayangnya panitia tidak melibatkan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, yang notabene memiliki TACB dan paling berwenang bicara soal heritage,” ungkapnya.
“TACB tahu mana-mana yang sudah dicagarbudayakan dan mana yang belum. Mana obyek yang masuk wilayah pemanfaatan dan yang mana bisa dipromosikan,” imbuhnya
Dikatakannya, TACB memiliki handbook tentang bagaimana perlindungan, pemanfaatan, dan pengembangan cagar budaya, dan telah ada kajian mengenai hal tersebut. “Untuk pergelaran musik boleh dan sah-sah saja. Bukan berarti TACB memiliki tafsir tunggal terhadap cagar budaya. Tapi kurangnya koordinasi membuat kesan promosi cagar budaya masih terlihat kurang,” pungkas Ki Demang. (Har/MAS)