KOTA MALANG – malangpagi.com
Tepat tujuh tahun lalu, calon presiden Joko Widodo hadir di Pondok Pesantren Babussalam yang berlokasi di Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Malang.
Mengenakan baju putih dan celana hitam yang merupakan ciri khasnya, Jokowi berjanji untuk menetapkan 1 Muharram sebagai Hari Santri Nasional, jika dirinya kelak terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia.
Lahirnya Hari Santri tidak terlepas dari peran Kyai Thoriq bin Ziyad, pengasuh Pondok Pesantren Babussalam. Gus Thoriq, sapaan karibnya, menceritakan proses lahirnya Hari Santri Nasional, yang dideklarasikan dideklarasikan pada 18 Desember 2009 di Pondok Pesantren Babussalam yang berada di Desa Banjarejo, bertepatan peringatan Tahun Baru Islam 1 Muharram.
“Saat deklarasi pertama hadir sejumlah nama tokoh, di antaranya Yenny Wahid, Saifullah Yusuf, dan Kiai Kholil Asad Syamsul Arifin dari Situbondo,” terang Kyai Thoriq, dilansir dari pesantrenluhur.or.id.
Dirinya mengungkapkan, sebenarnya deklarator pertama dari Hari Santri Nasional adalah Kiai Haji Abdurrahman Wahid. Namun sebelum gagasan itu terwujud, Gus Dur tutup usia.
Dua tahun kemudian, tepatnya 2011, saat 1 Muharram, peringatan Hari Santri Nasional di Ponpes Babussalam dihadiri oleh Anas Urbaningrum. Selanjutnya pada 2012, Hari Santri dilangsungkan di Universitas Negeri Jember.
“Pada 2014 Jokowi hadir di Ponpes Babussalam. Kala itu masih sebagai calon Presiden Republik Indonesia. Dirinya berjanji, jika terpilih menjadi Presiden, dirinya siap dan menetapkan 1 Muharram sebagai Hari Santri Nasional. Pernyataan Jokowi tersebut dilontarkan pada 15 Oktober 2015, dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015,” imbuh Gus Thoriq.
Ia pun berharap, keberadaan santri di Indonesia lebih diperhatikan, dihargai, dan diapresiasi, sebagaimana keinginan awal Gus Thoriq bersama rekan-rekan saat menggagas Hari Santri.
“Kita harus bersyukur, Hari Santri sudah diputuskan sebagai Hari Santri Nasional. Dan dari Malang inilah pernyataan tersebut dibuat, tepatnya saat Jokowi berkampanye pada Pemilihan Presiden 2014,” terang Gus Thoriq.
Peringatan Hari Santri Nasional juga diperingati di sejumlah kampus. Salah satunya Universitas Islam Malang (Unisma), yang mewajibkan mahasiswa mengenakan sarung dan mahasiswi memakai rok panjang pada hari tersebut.
“Sarung merupakan identitas pejuang tanah air dan merupakan simbol perlawanan bangsa Indonesia pada saat melawan masuknya budaya barat,” jelas Gus Thoriq.
Dirinya menuturkan, ketika zaman penjajahan kompeni memakai celana, sedangkan para ulama melakukan perlawanan sambil mengenakan sarung sebagai simbolisasi.
“Untuk mengembalikan dan menguatkan identitas santri, pada Hari Santri Nasional ini kami menumbuhkan pemahaman, bahwa santri yang bersarung adalah orang-orang yang nantinya membantu mengembangkan, memajukan, bahkan menyelamatkan negara. Karena karya anak santri itu luar biasa, sehingga dapat menepis stigma bahwa santri identik dengan kalangan bawah, kuper, atau stigma buruk lainnya,” tegas Gus Thoriq.
Senada dengan hal tersebut, pengasuh Pondok Pesantren Luhur, Muhammad Danial Farafis mengapresiasi terwujudnya Hari Santri Nasional, yang merupakan salah satu ide Kiai Thoriq bin Ziyad.
“Adanya Hari Santri merupakan bukti bahwa negara memprioritaskan pendidikan keagamaan. Sebagai sesama anak bangsa, santri memiliki ruang lebih dalam memotivasi, mengkaji, dan berkarya,” ujar Gus Daniel, sapaan akrabnya. (Har/MAS)