KOTA MALANG – malangpagi.com
Kayutangan Heritage menjadi perbincangan hangat masyarakat Kota Malang akhir-akhir ini. Banyak yang memuji wajah baru dengan kecantikan lampu-lampu hias yang berjajar di sepanjang koridor Kayutangan. Namun tak sedikit komentar miring yang datang, lantaran penataan Kayutangan dianggap masih abu-abu.
Istilah heritage yang disematkan pun menjadi satu hal yang dikritisi sejumlah kalangan. Pasalnya, istilah tersebut memiliki arti cukup luas, dan sebagian malah menganggapnya terkesan kuno.
Anggota DPRD Kota Malang, Arief Wahyudi menyebut bahwa branding heritage terlalu tinggi. Dirinya menilai, konsep-konsep heritage belum tercermin dalam konsep penataan koridor Kayutangan.
“Nama Kayutangan Heritage terlalu besar. Label heritage tidak dapat diapa-apakan. Konsep besarnya untuk kongkow. Namun yan jangan niru Yogyakarta,” tukas Sekretaris Komisi B DPRD Kota Malang itu, saat menjadi pembicara dalam acara bertajuk “Arep Diapakno Kayutangan Iki”.
Pernyataan Arief dalam acara yang digelar Komunitas Malang Peduli Demokrasi (MPD) di Hotel Pelangi (Jumat, 20/1/2022) itu diamini arkeolog asal Kota Malang, Dwi Cahyono. Dirinya turut menyayangkan penyematan embel-embel heritage.
“Saya menilai, sebaiknya koridor Kayutangan tidak diberi label heritage, agar lebih leluasa. Nuansanya jadi terkesan ditua-tuakan. Sampai-sampai dipasang lampu agar seolah tua, padahal baru,” ucap mantan anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Malang periode 2017–2020 itu.
Ki Dwi, sapaan karib sejarawan itu, menyayangkan diskusi tentang Kayutangan baru digelar saat pembangunan sudah tereksekusi. Sehingga khalayak tidak mengetahui konsep penataan Kayutangan dari awal.
Sementara itu, arsitek Budi Fathony menyatakan bahwa pihaknya telah melakukan kajian terhadap Kayutangan, danhasilnya sudah diberikan kepada Pemerintah Kota Malang.
“Kami telah mengkaji secara akademis bersama tim, mengenai konsep heritage, bahkan sudah menjadi buku dan sudah diserahkan kepada Pak Walikota. Namun kami tidak paham, kenapa ujug-ujug bentuknya seperti ini. Beda banget dengan hasil kajian,” ucap Budi.
Masukan senada juga datang dari Bambang Gatot Wahyudi, yang menyarankan agar Pemkot Malang urung memaksakan nama heritage. “Janganlah memaksakan untuk memakai nama heritage apabila belum siap. Kota lain tanpa embel-embel heritage juga bisa populer,” serunya.
Menjawab kritik yang dilontarkan berbagai pihak dalam acara diskusi tersebut, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang Perumahan dan Kawasan Permukiman (DPUPRPKP) Kota Malang, Diah Ayu Kusumadewi mengatakan bahwa Kayutangan Heritage adalah nama yang dikeluarkan dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah).
“Kalau kami dalam paket kegiatan tidak ada namanya Kayutangan Heritage untuk koridor di Jalan Basuki Rahmat. Ini adalah istilah pengetopan,” ungkap Diah.
Maka dari itu, pihaknya mempersilakan masyarakat jika menginginkan perubahan istilah untuk penamaan koridor Kayutangan. “Monggo jika ada usulan untuk mengganti istilah Kayutangan Heritage. Nanti kami ajan sampaikan kepada Bapak Walikota,” tukas Diah.
Menanggapi berbagai kritikan yang datang, Kepala Dinas Kepemudaan Olahraga dan Pariwisata (Disporapar) Kota Malang, Ida Ayu Made Wahyuni menegaskan bahwa sebelum direvitalisasi kawasan Kayutangan adalah sebuah kawasan ‘mati’.
“Kenapa harus heritage? Karena kita memiliki sejarah Kerajaan Kanjuruhan, yang pusatnya berada di Kota Malang. Selain itu, kita juga pernah berada di era Kolonial. Ada Idjen Boulevard dan Alun-Alun, yang semuanya itu adalah satu kesatuan sebagai branding heritage untuk menarik wisatawan,” paparnya.
Perempuan asal Bali itu menekankan, pembangunan Kayutangan belum usai dan masih dalam tahap penyempurnaan. “Ini memang belum sempurna dan kami berupaya terus berbenah. Pemkot Malang memang berencana untuk mengecat kembali dengan warna putih, hitam, dan abu-abu. Sehingga konsep heritage dapat ditonjolkan,” pungkas Ida Ayu. (Har/MAS)