
KABUPATEN MALANG – malangpagi.com
Sabagai peradaban yang termasuk paling tua di Pulau Jawa, Malang menyimpan banyak peninggalan bersejarah dengan catatan kejayaannya. Terdapat beberapa situs tersisa yang tercatat sebagai kawasan cagar budaya. Seperti Candi Badut peninggalan Kerajaan Kanjuruhan, atau warisan Kerajaan Singosari yakni Candi Jago dan Candi Kidal.
Banyak cara dilakukan komunitas pelestari dan pecinta budaya untuk memanfaatkan keberadaan situs cagar budaya tersebut. Salah satunya dengan menjadikan obyek belajar sejarah tentang situs-situs cagar budaya.
Seperti kegiatan yang dilakukan perkumpulan PBN (Perempuan Bersanggul Nasional) dengan bertandang ke Candi Jago dan Candi Kidal di Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, pada Minggu (5/9/2021).
Komunitas yang sebagian besar pesertanya adalah perempuan bersanggul dan berkebaya dengan antusiasme tinggi ingin belajar tentang candi dan relief-relief yang menghiasinya.
Ketua PBN, Ries Handana Prawiradirja menyampaikan bahwa kunjungan komunitasnya ke peninggalan sejarah tidak sekadar untuk berwisata dan berfoto-foto saja. Melainkan juga untuk mempelajari latar belakang sejarah serta cerita di balik relief candi.
“Tidak hanya mengagumi keindahan arsitektur candi, kita berupaya mempelajari data dan informasi tentang candi yang dikunjungi,” jelas pria yang berprofesi sebagai arsitek itu.
Saat berkunjung ke Candi Kidal, rombongan PBN ditemui oleh Ki Suryo, juru pelihara candi. Pada kesempatan tersebut, Ki Suryo menjelaskan bahwa dalam sastra Jawa kuno terdapat mitos yang terkenal di kalangan masyarakat, yaitu mitos Garudheya.
Mitos tersebut menceritakan tentang seekor burung garuda yang berhasil membebaskan ibunya dari perbudakan dengan tebusan air suci amerta (air kehidupan).
“Konon relief mitos Garudheya dibuat untuk memenuhi amanat Anusapati yang ingin meruwat Ken Dedes, ibunda yang sangat dicintainya. Mitos Garudheya tertuang secara lengkap dalam relief di sekeliling kaki candi. Untuk membacanya digunakan teknik prasawiya (berlawanan arah jarum jam), dimulai dari sisi selatan,” jelas Ki Suryo.
Saat rombongan bergeser ke Candi Jago, Ki Suryo kembali menceritakan tentang salah satu relief Buddhisme, yaitu relief Kunjarakarna. Relief ini bercerita tentang Kunjarakarna saat meminta kepada Hyang Wairocana untuk dapat mencapai pembebasan yang seutuhnya.
Kala itu, Kunjarakarna yang sedang bertapa di Gunung Semeru ingin bertemu Hyang Wairocana. Ki Suryo menjelaskan, menurut kitab Negarakertagama dan Pararaton, Candi Jago yang dibangun atas perintah Raja Kertanagara berlangsung sejak 1268 sampai 1280 masehi.
Candi Jago didirikan sebagai penghormatan kepada ayahandanya, Sri Jaya Wisnuwardhana, Raja Singasari ke-4 yang mangkat pada 1268 masehi. “Walaupun dibangun pada masa Kerajaan Singasari, Candi Jago merupakan salah satu tempat yang sering dikunjungi Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit,” terang Ki Suryo.
Pada relief candi tersebut juga ditemukan gaya sanggul yang sangat mirip dengan gaya sanggul perempuan Bali saat ini. “Saya menemukan di relief terdapat wanita mengenakan kemben dengan jarik yang diwiru, dan dengan rambut disanggul. Tata busana dan gaya rambut mirip sekali dengan gaya yang dipakai perempuan era Majapahit, yang dapat dilihat di patung-patung koleksi Museum Empu Tantular,” ungkap Ries Handana.
Hal senada diucapkan Sany Repriandini, selaku Koordinator PBN Malang Raya, yang menyampaikan bahwa pada relief candi banyak digambarkan bagaimana busana perempuan Jawa saat itu.
“Bagaimana bentuk sanggu danl ornamen motif kain jarik waktu itu yang diharapkan dapat menginspirasi untuk desain jarik dan busana di masa depan, tanpa tercabut dari akar budaya,” terang Sany.
“Harapan kami setelah mendapatkan penjelasan dari relief candi ini, kami bisa melestarikan ragam busana yang menjadi kebanggaan masyarakat jawa,” tandasnya. (TNT/MAS)