
KABUPATEN MALANG – malangpagi.com
Gula impor yang memiliki tampilan fisik yang menarik ternyata harganyapun juga menarik pelaku pasar.
“Memang gula rafinasi di peruntukan sebagai bahan baku di industri mamin (makanan dan minuman). Namun peredarannya diatur oleh Peraturan Menteri Perdagangan atau Permendag Nomor 01 Tahun 2019, tentang Perdagangan Gula Kristal Rafinasi (GKR). Permendag tersebut merupakan penyempurnaan dari Permendag Nomor 74 Tahun 2015 tentang Perdagangan Antarpulau Gula Kristal Rafinasi,” jelas Ketua Umum PKPTR (Pusat Koperasi Primer Tebu Rakyat), KH Hamim Kholili atau biasa dipanggil Gus Hamim saat dihubungi Malang Pagi via WhatsApp, Jumat (12/2/2021).
Menurutnya, GKR hanya dapat diperdagangkan oleh produsen GKR kepada industri pengguna sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam proses produksi, dan dilakukan melalui kontrak kerja sama serta dilarang diperdagangkan di pasar eceran.
“Produsen GKR juga dilarang menjual GKR kepada distributor, pedagang pengecer, dan/atau konsumen,” papar Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Roudlatul Ulum itu.
Namun demikian, gula lokal saat ini justru kalah bersaing dengan gula impor yang ternyata juga di pasaran. Sehingga gula hasil petani tebu rakyat tak terbeli dan mengendap di gudang.
“Sudah ada aturan distribusinya terkait gula rafinasi. Tapi juga harus dipantau peredarannya di pasaran. Jangan sampai produk yang diperuntukkan untuk menopang industri makanan dan minuman yang memang harganya jauh lebih murah bersaing dengan gula lokal dari pertanian tebu rakyat,” tegas Gus Hamim.
Gula rafinasi diimpor dari negara dengan level pertanian yang lebih maju, serta didukung teknologi pengolahan pertanian yang modern, sehingga ongkos produksi mampu ditekan.
“Tentu saja berbeda dengan pertanian tebu lokal kita yang saat ini masih didominasi pengerjaan secara tradisional dengan melibatkan tenaga manusia. Sehingga ongkosnya pun juga mengikuti kebutuhan pokok para pekerja,” tambahnya.
Harga eceran tertinggi (HET) menjadi salah satu penyebab harga gula lokal tidak sesuai harapan. HET bahan pokok, terutama gula pasir pada tingkat petani sebesar Rp9.100 per kilogram. Sementara HET di tingkat konsumen sebesar Rp12.500 per kilogram. Kondisi ini dianggap tidak memihak industri gula lokal.
“Biaya produksi gula saat ini sudah melebihi harga patokan petani (HPP) gula yaitu Rp14.000 per kilogram. Usulan tersebut karena adanya penyesuaian kenaikan biaya produksi dan kenaikan harga berbagai komoditas akibat dampak pandemi Covid-19,” terang Gus Hamim.
Biaya produksi di atas HPP menjadi ketentuan yang sulit. Namun jika tidak diikuti, kelangsungan industri gula lokal termasuk petani tebu berpotensi terpuruk.
“HET diharapkan berada di angka Rp14.000, atau minimal Rp13.500. Dengan demikian, masih ada ruang bagi kami (petani tebu) untuk bertahan,” ungkapnya. Jika hal tersebut terwujud, Gus Hamim optimistis petani tebu mampu menuju swasembada gula.
Reporter : Sugiarto
Editor : MA Setiawan