KOTA MALANG – malangpagi.com
Dinilai berhasil mempertahankan bentuk bangunan, The Shalimar Boutique Hotel akhirnya dianugerahi penghargaan sebagai Bangunan Cagar Budaya oleh Pemerintah Kota Malang. Penghargaan tersebut diumumkan Walikota Malang, Sutiaji, dalam upacara peringatan Hari Kebangkitan Nasional pada 20 Mei lalu.
Bangunan berarsitektur niuwe bouwen itu memang dianggap memenuhi syarat untuk mendapatkan predikat Bangunan Cagar Budaya, lantaran berusia lebih dari 50 tahun, mewakili gaya masa itu, serta memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan kebudayaan.
“Penetapan The Shalimar Boutique Hotel sebagai Bangunan Cagar Budaya merupakan upaya melestarikan warisan budaya di Kota Malang, dan dalam pemanfaatannya sesuai dengan fungsinya,” ungkap Walikota Malang Sutiaji, saat menjadi narasumber dalam dialog interaktif yang mengusung tema ‘Potensi Kekayaan Heritage untuk Peningkatan Ekonomi Kota Malang’, bertempat di The Shalimar Boutique Hotel Malang, Selasa (14/6/2022).
Lebih lanjut orang nomor satu di Kota Malang itu menuturkan bahwa Kota Malang memiliki wisata budaya. Salah satunya dengan pengenalan bangunan heritage. “Dalam penetapan sebagai Cagar Budaya, tentunya dapat mempromosikan warisan budaya di Kota Malang kepada masyarakat luar. Dan ketika kita mempromosikan konsep heritage, bukan hanya obyeknya saja, namun orang juga akan mencari kuliner atau makanan khas Malang,” jelas Sutiaji.
Pihaknya menegaskan, dalam pelestarian Cagar Budaya pemerintah harus hadir dan berkomitnen untuk mendorong legalitas terkait insentif dan disinsentif. “Kami terus menggodok Perdanya [Peraturan Daerah]. Sehingga tidak hanya penentuan dan penetapan saja,” tutur pemilik kursi N-1 tersebut.
Pada kesempatan yang sama, Managing Director The Shalimar Boutique Hotel, Lily Jessica Tjokrosetio, menyampaikan bahwa dari awal gedung tersebut digunakan untuk societet atau tempat dansa. Pihaknya juga menegaskan intuk terus mempertahankan bentuk bangunan.
“Bangunan ini dibangun oleh Ir. Muller sekitar 1933, dan difungsikan pada 1934 sebagai gedung societet atau tempat dansa. Pada 1964 hingga 1993, digunakan sebagai Stasiun RRI (Radio Republik Indonesia). Dan pada 1994 kami fungsikan sebagai hotel, dengan nama Hotel Malang Inn, yang kemudian pada 1995 berganti nama menjadi Graha Cakra,” papar Lily.
“Kemudian pada 2014 kami melakukan rebranding menjadi The Shalimar and Boutique Hotel, dengan tetap mempertahankan bentuk bangunan,” imbuhnya.
Dirinya tidak menampik adanya pertanyaan kenapa mempertahankan bentuk bangunan. Kenapa tidak dirobohkan saja, dan dibangun hotel bertingkat. Kenapa hanya ada 44 kamar. Dan sejumlah pertanyaan lainnya. “Bahkan ada yang menanyakan, kapan bisa balik modal,” ujar perempuan yang juga menjadi Konsul Kehormatan Kerajaan Belanda di Surabaya sejak 2017.
Bagi Lily, sejak awal pihaknya memiliki komitmen jelas, dengan tetap kukuh mempertahankan bentuk bangunan. “Kami yakin punya market sendiri. Tamu dari luar kota hingga luar negeri datang ke Shalimar and Boutique Hotel ini karena penasaran. Jadi value yang dimiliki kemudian membentuk segmen khusus,” jelasnya.
Dirinya mengakui, saat pandemi melanda, hotel bintang lima yang dikelolanya sempat lumpuh. Namun patut disyukuri, The Shalimar Boutique Hotel masih beroperasi dan survive . “Apa yang terjadi hari ini tidak dapat dipungkiri berawal dari sejarah. Bukti tangible [aset berwujud] dari bangunan ini memiliki nilai-nilai edukasi sejarah. Bagi saya itu adalah nilai yang luar biasa,” ucap Lily.
Perempuan yang menjabat sebagai CEO PT. Citra Nutrindo Langgeng itu tidak menampik, gedung The Shalimar Boutique Hotel pernah menjadi loge Freemason. “Kami tetap beroperasi sebagai hotel. Jika faktanya pernah menjadi bagian dari freemason, itu merupakan bagian dari sejarah. Cerita yang disimpan dinding-dinding ini tidak akan kita lupakan, dan kami dengan semangat akan menceritakan,” bebernya.
Lily mengakui, dialog yang digelar sangat menarik. Dan pihaknya akan bersikap open, dan berharap selanjutnya dapat bekerja sama dengan Pemkot Malang.
Apresiasi pun datang dari Direktur Utama RRI, Hendrasmo. Dirinya mengatakan, saat memasuki The Shalimar Boutique Hotel, seolah tengah berada di gedung RRI tempo dulu. Kami mengapresiasi bagaimana Bu Lily dan Pak Wali menghadirkan kembali sejarah. Hal itu adalah sesuatu yang penting. Tidak hanya memperkuat identitas, tapi juga mengingatkan kembali akan keberadaan RRI,” ujarnya
“Apa yang telah dilakukan Pak Wali dan Bu Lily sebagai wujud membangun kesadaran, cagar budaya, dan sejarah. Semua itu adalah usaha yang luar biasa,” tandas Hendrasmo. (Har/MAS)