
KOTA MALANG – malangpagi.com
Gedung bergaya Niuew Bouwen yang terletak di Jalan Cerme No. 16 Kelurahan Oro-Oro Dowo, Kecamatan Klojen, Kota Malang merupakan karya arsitek Ir. Th. N. Muller. Gedung yang awalnya bernama Macconieke Lodge itu dibangun pada 1 April 1933 hingga tahun 1940 dengan pelaksana J. Th Kienecker.
Jejak Freemason yang masih tersisa hingga saat ini adalah dinding depan yang merupakan bangunan utama dan masih kokoh. “Bangunan ini dibangun pada tahun 1930 dan dulu pernah menjadi tempat berkumpulnya para anggota Freemason. Freemason adalah eksklusif, jadi memang orang-orang yang berstrata sosial tinggi,” ungkap manajer The Shalimar Boutique Hotel, Agoes Basoeki kepada Malang Pagi.
Lebih lanjut pria ramah yang bekerja di hotel ini hampir 26 tahun yang lalu itu, sejak masih bernama Hotel Graha Tjakra, menyatakan bahwa setelah gerakan Freemason dihentikan, praktis tidak ada kegiatan di gedung bergaya klasik ini.
“Setelah organisasi Freemason dilarang pada 1962 oleh Presiden Sukarno, tidak ada kegiatan di bangunan ini. Baru pada tahun 1964 bangunan ini dialihfungsikan menjadi Kantor Radio Republik Indonesia (RRI),” jelas Agoes.
RRI menggunakan gedung tersebut dari 1964 hingga 1993. Saat itu dilakukan tukar guling atau tukar bangun yang diambil alih oleh PT Cakra Nilam Lestari. Perusahaan tersebut menang lelang dengan mengganti luas lahan sebesar 2,5 hektare serta mendirikan bangunan tambahan seluas 2.000 meter persegi.
Gedung aslinya memang tidak terlalu besar, tidak sebesar sekarang yang memiliki luas 3.800 meter persegi. Bangunan aslinya saat ini difungsikan sebagai ruang makan dan restoran.
“Nilai historis gedung ini dan terletaknya yang strategis menjadikan harga tanah di lokasi ini sangat mahal,” ungkap pria kelahiran Pasuruan itu.
Pada Desember 1993, saat dibangun Hotel Malang Inn, terbit aturan dari pemerintah saat itu yang melarang nama asing pada penggunaan bangunan. Maka pada tahun 1995, Malang Inn berganti nama menjadi Hotel Graha Tjakra. Baru pada 10 Desember 2015 hotel tersebut berganti nama menjadi The Shalimar Boutique Hotel hingga sekarang.
Saat memasuki lobi hotel terpampang foto lawas gedung tersebut, lengkap dengan simbol jangka dan penggaris siku. Tidak hanya itu, terdapat pula ruangan-ruangan yang masih orisinil meskipun lantainya sudah diganti. Desain lantai tetap mengaplikasikan dengan konsep bangunan asal yang adalah tempat dansa para sosialita zaman itu, dengan kombinasi hitam dan putih seperti papan catur.
Berdasarkan buku “Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat Hindia Belanda di Indonesia 1764-1962” karangan Steven, disebutkan bahwa hitam putih adalah simbol lantai yang diambil dari Kuil Salomon, dan Freemasonry di seluruh dunia menetapkan persamaan pola hitam dan putih di setiap logenya.
Maconieke Lodge memiliki nomor loge 89. Sejumlah sumber menyebutkan, organisasi Freemason mempunyai nomor pendirian dan berhubungan satu dengan lainnya. Nomor tersebut berfungsi sebagai urutan awal hingga akhir grup-grup Freemason yang ada di Hindia Belanda.

Selain itu, menurut pemerhati sejarah Kota Malang Tjahjana Indra Kusuma, pemberian nomor pada loge karena komunitas tersebut bisa muncul lebih dari satu group dalam sebuah kota dengan nama berbeda-beda.
Freeamson atau ada yang menyebut Vrijmetselarij, tidak hanya didominasi oleh orang-orang Belanda, namun juga priyayi Jawa. Sebut saja Paku Alam V, VI, dan VII.
Sang maestro seni lukis Raden Saleh Sjarif Bustaman dan pemimpin sidang Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Radjiman Wedyodiningrat juga tercatat sebagai seorang Mason.
Bukti lain mengenai upaya perekrekrutan masyarakat pribumi, khususnya bangsa Jawa sebagai anggota kemasonan, adalah sebuah buku yang ditulis oleh Raden Ario Soerjo berjudul “Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat Pribumi.”
Menurut Ario, masyarakat Jawa memiliki unsur-unsur yang mendukung dan menguntungkan ajaran-ajaran Freemason. Selain itu, gerakan ini berusaha mengontrol setiap gerak kebangkitan masyarakat Jawa, utamanya pada perkumpulan bercorak kebatinan.
Tidak heran jika organisasi-organisasi yang bersifat kebatinan atau Jawanisme seperti Boedi Oetomo, Trikoro Dharmo, dan Jong Java tak lepas dari pengaruh Freemason, baik sisi pemikiran maupun asasnya.
Penulis : Hariani
Editor : MA Setiawan