KOTA MALANG – malangpagi.com
Setelah sukses menciptakan Kampung Tematik, sejumlah warga Kota Malang mencoba membuat konsep serupa, namun kali ini sasarannya adalah pasar tradisional.
Tak dipungkiri, merebaknya pasar online dewasa ini membuat eksistensi pasar tradisional yang memiliki kesan sebagai tempat yang kumuh dan bau mulai ditinggalkan.
Padahal pasar tradisional sejatinya adalah tempat manusia saling berinteraksi dan berkomunikasi. Terdapat proses tawar menawar antara penjual dan pembeli, yang tidak ditemui di pasar online.
Atas dasar itulah, Persatuan Pedagang Pasar Kota Malang (P3KM) mencoba menciptakan konsep pasar tematik, yang dimulai dari Pasar Sukun. Seiring perubahan konsep yang diusung, nama tempat ini akan berubah menjadi Pasar Batik Sukun.
Acara yang digelar pada Sabtu pagi (20/11/2021) di Pasar Sukun, Kota Malang dimulai dengan kegiatan cek kesehatan, senam pagi, dan kelas belajar membatik, diiringi hiburan campursari.
Menurut Fathoni, selaku Ketua Paguyuban Pasar Sukun, acara ini baru pertama kali digagas. Dirinya pun berharap, kelas membatik terus berjalan setiap Sabtu sampai dapat menjadi ikon pasar ini.
“Kami mempunyai ikon buah sukun sebagai ciri khas Batik Sukun,” jelas Fathoni, yang membina 300 pedagang di Pasar Sukun. “Masih banyak yang non-aktif [belum berjualan] akibat sepi karena pandemi ini,” lanjutnya.
Sementara itu, Muhammad Taufiq Shaleh Saguanto, yang merupakan pemegang sertifikat KEK (Komite Ekonomi Kreatif) di bidang komunikasi dan pemasaran, menginginkan setiap pasar memiliki tema tersendiri.
“Saat ini saya telah mendatangkan Mbak Nena, warga Sukun gang 2C, untuk mengajarkan cara mencanting. Kami sengaja memanfaatkan warga lokal Sukun,” ungkap Taufiq.
“Tidak lupa saya juga mengundang Mbah Yongky, yang merupakan guru dari Mbak Nena. Sehingga jika nanti warga yang belajar di sini dapat sukses dan mengajarkan ke warga yang lain, maka tentunya roda ekonomi kreatif akan berjalan sukses,” terang pria tambun yang sering tampil di televisi swasta nasional itu.
Taufiq menekankan, ekonomi kreatif tidak melulu hanya produk digital. Namun dapat mengombinasikan antara produk buatan tangan dan dipasarkan secara digital.
“Itulah tugas yang saya di KEK ini. Dan saya akan segera membuat aplikasi pasar rakyat yang bersinergi dengan pasar tradisional. Aplikasi ini akan diberi nama PASRAM (Pasar Rakyat Malang),” tandasnya.
Sementara itu di gazebo Pasar Sukun tampak Nena Bachtiar, selaku pembina Batik Sukun, sedang memandu ibu-ibu yang belajar membatik dengan telaten. Dengan sabar Ia membimbing agar setiap peserta terbiasa dalam menggunakan canting.
“Canting adalah nyawanya pembatik. Untuk itu jangan pernah dipinjamkan. Karena di sini kita dapat mengetahui kemiringannya, lurusnya, dan keluar malamnya [bahan batik] seperti apa. Hanya kita yang tahu,” ucap Nena menjelaskan.
Nena sudah lima tahun menekuni batik, dan tiga tahun terakhir dirinya aktif dalam pemberdayaan masyarakat. “Kami tetap aktif mengerjakan batik di rumah masing-masing ibu-ibu pekerja. Setiap Jumat kami menggelar pelatihan sedekah ilmu di Kampung Terapi Hijau, yang juga menjadi tempat wisata,” tambahnya.
Di tempat yang sama, Yongki Irawan, sesepuh dalam seni dan budaya Kota Malang, menjelaskan bahwa hal terpenting adalah merangsang orang untuk mau berproses.
“Proses ini cukup panjang. Tidak cukup satu atau dua hari, butuh waktu. Sehingga inilah yang melatih emosional, intuisi, kejiwaan, dan rasa kita,” papar Mbah Yongki, sapaan karibnya.
Tak ketinggalan, anggota Komisi B DPRD Kota Malang, Bayu Rekso Aji berharap seluruh pedagang dapat menjadikan batik sebagai program andalan Pasar Sukun. Karena menurutnya batik adalah sebuah warisan budaya Indonesia untuk dunia.
”Ke depannya, setiap pasar dari 26 pasar yang ada di Kota Malang memiliki tema masing-masing. Sehingga kebangkitan ekonomi kerakyatan dimulai dari pasar,” harap Bayu.
“Saya ucapkan terima kasih kepada P3KM, Bu Nena, serta teman-teman yang telah bersinergi. Kolaborasi semua pihak adalah yang kita perlukan untuk membangun sebuah pasar rakyat,” tutupnya. (TNT/MAS)