
KOTA MALANG – malangpagi.com
Wakil Walikota Malang, Sofyan Edi Jarwoko, optimistis Pemilu 2024 akan berkualitas. Hal tersebut disampaikan pria yang juga menjabat sebagai Ketua DPP Partai Golkar Kota Malang tersebut, saat menjadi narasumber dalam sebuah diskusi rutin Majelis Daerah Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Kota Malang, yang dihelat di Graha Insan Cita, Jalan Sukarno Hatta No. 40 Kota Malang, Kamis (15/9/2022).
“Meskipun pasti terjadi gesekan, akan terjadi tetapi tidak akan fundamental dalam arti permanen, dan akan cair pada waktunya. Masyarakat kita sudah terbiasa berdemokrasi. Tren di Kota Malang sendiri semakin bagus. Kita harus optimistis, karena sejarahnya memang mendukung,” beber Bung Edi, sapaan Wawali.
Menurutnya, dibutuhkan persepsi dan komitmen yang sama untuk mewujudkan Pemilu yang berkualitas. “Apakah Pemilu yang jujur, adil, demokratis? Apakah ada tambahan tidak ada money politik? Apakah orang memilih dengan merdeka, tidak ada tekanan, tidak dalam ketakutan? Apakah yang dipilih itu berdasarkan program yang ditawarkan masyarakat ke masyarakat, atau yang masih melihat posisi-posisi seseorang di partai itu berdasarkan aliran, dan sebagainya? Kita yang definisikan,” paparnya.
Jika ditarik, lanjut Bung Edi, maka definisi tersenut harus berbanding lurus dengan apa yang dicita-citakan di tingkat nasional, tidak bisa lokal. “Ayo kita jaga bersama-sama dan perlu komitmen. Baik dari Parpol, Bawaslu, maupun KPU,” serunya. Di samping itu dirinya menambahkan perlunya upaya untuk mencerdaskan pemilih. “Ini kerja bareng. Ayo kita lakukan bersama-sama,” ajak Bung Edi.
Jika Pemilu berkualitas, lanjutnya, maka akan memiliki dampak begitu besar. “Politik itu mahal. Jadi bagaimana kita bersikap pascapemilu. Apakah mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan saat Pemilu? Padahal ada satu tahapan untuk menuju tujuan bersama, yaitu policy kebijakan. Maka kami berharap Pemilu 2024 menjadi Pemilu yang berkualitas,” harapnya
Sementara itu, Ali Maksum, selalu Ketua Yayasan Pendidikan Politik dan Peradaban menilai, Pemilu 2024 harus berkaca pada Pemilu 2014 dan 2019 yang mengalami kemerosotan. “Pemilu berkualitas adalah dambaan. Faktanya masih diwarnai money politics. Berdasarkan survei, 40 persen konstituen menerima uang dari peserta Pemilu,” ungkapnya.
Selain itu dirinya menyebut politik identitas yang cukup kuat juga terjadi pada Pemilu 2014 dan 2019. Yaitu isu-isu yang membenturkan kelompok radikal dan kolompok nasionalis. “Masyarakat terpolarisasi dengan adanya politik identitas hingga memunculkan kerusuhan. Karena ada pihak-pihak tertentu yang tidak puas dengan hasil Pemilu,” papar Maksum.
Hal lain yang perlu diwaspadai adalah menurunkan partisipan atau konstituen, serta rendahnya kualitas calon terpilih karena hanya berdasarkan popularitas yang didukung kekuatan uang. “Hubungan antara bandar atau cukong dengan calon peserta Pemilu berakibat buruk terhadap kondisi sosial politik pascapemilu,” jelasnya.
Untuk meminimalisir hambatan dalam Pemilu 2024, Maksum membeberkan solusi, yaitu meningkatkan kredibilitas penyelenggara Pemilu. “Terjadinya kesalahan terkait input data C1 perlu dipikirkan kembali, juga memperbaiki data pemilih karena masih banyak terdapat daftar pemilih yang sudah meninggal, serta melakukan update data bagi pemilih yang pindah domisili,” tutur Maksum.
Dirinya juga menyarankan baik penyelenggara Pemilu maupun partai politik untuk melek literasi politik. “Literasi politik ini hal yang vital, karena media sosial kita dipenuhi berita-berita hoaks. Literasi politik dapat meminimalisir politik uang maupun meredam munculnya politik identitas. Hal ini sebagai upaya mewujudkan demokrasi elektoral di 2024,” pungkasnya. (Har/MAS)