KOTA MALANG – malangpagi.com
Seribu sajen dan dupa menandai gelaran ngaji bersama dalam doa bersama lintas agama, yang diadakan di depan Balai Kota Malang, Sabtu malam (22/1/2022).
Kebhinnekaan kental terasa, pasalnya para tokoh lintas agama berbaur dalam satu panggung guna memanjatkan doa menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
Ketua Panitia Gus Hiza Al Ayubi menerangkan bahwa ratusan orang yang hadir malam itu diajak untuk berdoa bersama, agar Indonesia, khususnya Kota Malang, senantiasa dalam keadaan damai, rukun, dan dingin.
Lebih lanjut Pengasuh Pondok Pesantren Ilmu Quran (PPIQ) Darul Hidayah itu memaparkan, selama ini masyarakat salah kaprah dalam memaknai sajen dan dupa. Melalui kegiatan ini, pihaknya ingin mengedukasi masyarakat agar tidak terjadi salah penafsiran.
Menurut Gus Hiza, arti sajen itu adalah menyajikan, sebagai bentuk rasa syukur atas karunia Tuhan. Sedangkan dupa merupakan media untuk menciptakan aroma wewangian yang sudah ada sejak dulu, dan saat ini telah berkembang menjadi parfum atau minyak wangi. “Jadi, sajen atau dupa bukan peranti untuk memanggil setan. Setan itu ndak suka dengan bau wangi,” selorohnya.
Namun dirinya menampik jika kegiatan seribu sajen dan dupa dikaitkan dengan kejadian pembuangan sesaji di Gunung Semeru yang viral beberapa waktu lalu. Gus Hiza menegaskan, ngaji bareng bersama tokoh agama bukan baru kali ini digelar, tetapi sudah keenam kalinya.
“Kegiatan malam ini bukan awal, dan tidak ada hubungan sama sekali dengan pembuangan sesaji di Semeru. Malah, kami berterimakasih karena kejadian tersebut menjadi pemantik bagi kami untuk berkumpul di sini. Terlepas dari itu, proses hukum harus tetap berjalan. Artinya, kejadian tersebut menjadikan kami untuk terus bersatu dalam damai, kerukunan, dan solidaritas,” jelas Gus Hiza.
Gelaran doa bersama ini mendapat apresiasi dari mantan Walikota Malang 2003–2008 dan 2008–2013, Peni Suparto. Dirinya menyebut, acara tersebut merupakan bagian dari nguri-nguri kabudayaan, lantaran kebudayaan adalah jantung peradaban.
“Kegiatan budaya adalah kegiatan terus-menerus, diikuti oleh masyarakat dan memiliki banyak aspek. Lukisan, musik, tari, itu semua adalah perwujudan kebudayaan,” paparnya.
Budayawan Kota Malang itu pun memandang bahwa kegiatan seribu sajen dan dupa merupakan bagian dari kebudayaan. Dan pihaknya menyayangkan kebudayaan semacam ini mulai tergerus oleh budaya asing.
“Patut disayangkan jika kebudayaan seperti ini harus disisihkan, bahkan diharam-haramkan. Yang pada akhirnya kita merasa asing berada di negeri sendiri,” sesalnya.
Peni Suparto menilai, kegiatan ngaji lintas agama semacam ini patut dilaksanakan di berbagai tempat. Jika hal ini dilakukan, menurutnya, akan tercipta harmonisasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang berdampak pada kelancaran pembangunan.
“Karena itu, doa sesuai agama yang dipanjatkan dalam balutan kebudayaan itu bagus. Karena menumbuhkan persaudaraan, kerukunan, dan solidaritas, seperti yang ditulis Mpu Tantular dalam Kitab Sutasoma. Di mana di dalamnya disebutkan adanya Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa,” urainya.
Hal senada diungkapkan Bapak Gembala Sidang Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) Jemaat Elim, Pendeta Tjan Paulus Rosiady, yang menginginkan kegiatan serupa digelar secara berkesinambungan.
“Hal seperti ini bagus, agar orang menghargai dan melestarikan kebudayaan. Saya berharap kegiatan positif ini terus diadakan berkesinambungan. Karena di sini ada solidaritas antaragama, dan itu yang kami harapkan,” ungkap Pendeta Tjan.
Dalam kesempatan ini, dirinya merasa bahagia lantaran turut dilibatkan untuk membacakan doa. “Sungguh luar biasa. Sebagai tokoh Kristiani saya dilibatkan. Ini adalah salah satu bagian pluralisme,” pungkasnya. (Har/MAS)