KOTA MALANG – malangpagi.com
Berbeda dari biasanya, Festival Topeng yang digelar oleh Dinas Kebudayaan dan pariwisata Propinsi Jawa Timur di Taman Krida Budaya Jawa Timur, Kota Malang pada 25-27 Maret 2021, dikemas secara sederhana.
Festival kali ini diselenggarakan dalam bentuk seminar dan pementasan seni tari dengan membatasi jumlah peserta dan pengunjung. Hal ini dilakukan mengingat acara digelar masih dalam suasana pandemi Covid-19.
Saat membuka acara tersebut, Kepala DInas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur, Sinarto, S.Kar MM menginginkan kesenian topeng mampu menginspirasi terciptanya ekonomi kreatif dan kegiatan wisata berbasis budaya.
“Budaya topeng, khususnya di Malang raya, harus bisa menjadi maskot dan ikon wisata dari semua sajian wisata,” ucapnya.
Acara dilanjutkan dengan seminar yang dimoderatori Dr. Wida Rahayunintyas, M.Pd dari Program Studi Pendidikan Seni Tari Dan Musik (PTSM) Universitas Negeri Malang (UM), dengan menghadirkan tiga narasumber, yaitu Dr. Sumaryono, MA, Dr. Robby Hidayat, M.Sn dan Isa Wahyudi, M.Psi.
Seminar di hari pertama tersebut dihadiri 50 peserta, yang terdiri dari para pelaku kesenian topeng dari berbagai daerah yang menjadi basis topeng. Seperti Malang Raya, Sampang, Sumenep, Jombang, Kediri, Situbondo, dan Bondowoso. Selain itu, hadir pula duta budaya dan duta pariwisata serta perwakilan mahasiwa Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya.
Sumaryono yang merupakan dosen Jurusan Tari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta menekankan pentingnya pendekatan media digital dalam kesenian topeng. Menurutnya, cara ini penting dilakukan dalam rangka meningkatkan promosi serta sebagai materi ajar bagi para pecinta topeng, khususnya kepada anak-anak muda.
“Pegiat topeng jangan sampai gaptek dan perlu mengelaborasi topengnya dengan media digital,” tutur Sumaryono, seraya menampilkan contoh penampilan topeng secara virtual menggunakan media sosial.
Sementara itu dosen Prodi PTSM UM, Robby Hidayat menjabarkan tata kelola seni pertunjukan, melalui fenomena perilaku sosial seniman yang memfungsikan wayang topeng sebagai komoditas jasa.
“Ada kecenderungan para pengusaha jasa hiburan wayang topeng di Malang mengelola kesenian ini dengan sistem waris atau bisinis keluarga. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan pengelolaan di daerah wisata lainnya, seperti di Bali atau Yogyakarta. Ada yang dikelola oleh yayasan, event organizer, atau pengelola khusus. Ini belum terjadi di Malang,” papar Robby.
Di kesempatan yang sama, Isa Wahyudi, yang lebih akrab disapa Ki Demang menggarisbawahi, bahwa melalui topeng sesungguhnya dapat dikembangkan ekonomi kreatif berbasis wisata budaya.
“Wisata budaya Tari Topeng Malangan misalnya, termasuk dalam revitalisasi dan konservasi sejarah dan budaya, yang dapat menjadi salah satu obyek andalan dalam mengembangkan pariwisata Malang,” tutur budayawan Kampung Budaya Polowijen itu.
“Topeng sebagai wisata budaya dapat pula ditampilkan dalam beragam event komunitas, kampung wisata, kegiatan pemerintahan, maupun acara perusahaan. Selain itu, kesenian topeng juga bisa menjadi pertunjukan di kafe, restoran, dan hotel. Topeng sebagai wisata budaya semestinya dapat rutin dipentaskan sebagai sajian hiburan bagi wisatawan,” imbuhnya.
Festival Topeng yang digelar di Kota Malang ini sebenarnya merupakan sebuah rintisan, untuk merancang event-event festival topeng berikutnya yang lebih besar.
Di hari kedua, acara dimeriahkan pergelaran dari Sanggar Dapur Probo Wengker Kabupaten Probolinggo, Sanggar Sinar Sumengkar Kabupaten Sumenep, PPST SMP Negeri 4 Kota Malang, Padepokan Seni Topeng Asmoro Bangun Kabupaten Malang dan Sanggar Malang Dance.
Reporter : Tanto
Editor : MA Setiawan