KOTA MALANG – malangpagi.com
Berbeda dari dari area-area lain yang disuguhkan Museum Ganesya (Gelar Indonesia Budaya), terdapat satu ruangan yang sangat kental dengan suasana dunia anak di era 70–80an.
Peragam permainan anak tempo dulu, seperti umbul, pres-presan, boneka kayu, boneka Si Unyil, masak-masakan, dompis, tembak kayu, dan beragam lainnya.
Tak hanya itu, desain ruangan kelas sekolah zaman dulu juga ditampilkan Museum Budaya terbesar di Malang Raya tersebut.
Penataan koleksi tersaji apik dan artistik, dilengkapi sorot cahaya yang pas. Membuat mata serasa tak ingin berhenti menjelajah. Ruangan yang terasa adem dengan pemandu yang ramah membuat pengunjung betah untuk berlama-lama meneguk ilmu di zona ini.
“Sebenarnya ini ruang temporary, hanya menyajikan tema-tema khusus di Museum Ganesya. Untuk kali ini, tema yang diusung adalah pendidikan dan permainan tradisional,” ungkap guide Museum Ganesya, Ampri Bayu Saputro, saat mendampingi Malang Pagi, Sabtu (4/12/2021).
“Karena bersifat sementara, maka konsep ini dapat berganti. Sebelumnya, kami pernah menyelenggarakan pameran dua sisi, berkaitan dengan mistik atau alat-alat spiritual yang umumnya digunakan oleh masyarakat Jawa, Namun selain itu kami juga menampilkan koleksi Si Gale-Gale milik masyrakat Toraja,” ungkap Ampri
Pria yang memiliki kecintaan terhadap budaya dan sejarah itu menerangkan, jika pendidikan dan permainan tidak dapat dipisahkan. Pasalnya, di balik permainan tradisional terdapat pesan-pesan moral pendidikan yang terkandung. Seperti disiplin, tanggung jawab, saling menghargai, tenggang rasa, berjiwa besar, dan sebagainya.
“Ganesya konsen untuk mempresentasikan bagaimana pendidikan dan permainan tidak jauh dari anak-anak. Nilai yang tersirat inilah yang ingin disampaikan, serta mengajak untuk merefleksi kembali permainan tradisional yang sarat akan pendidikan budi pekerti. Jadi, tidak hanya sebagai kenangan atau nostalgia semata,” urainya.
Seperti diketahui, tak sedikit anak-anak zaman sekarang yang mulai asing dengan permainan tradisional, karena tergerus permainan modern yang lambat namun pasti memunculkan egoisme dan memudarkan rasa kebersamaan.
“Teknologi sudah menjadi tren dan menggeser permainan tradisional. Hal ini patut disayangkan. Berbeda dengan di masa dulu, misalkan orang tua saat itu mengenalkan dunia perempuan melalui dolanan pasaran. Jadi, sejak dini mereka sudah mengajarkan bahwa kodrat perempuan harus mengenali pasar, bisa masak, dan mengatur perekonomian,” beber Amri.
Dalam permainan tradisional, menurut Amri, ada makna yang tersirat. Contohnya umbul, permainan bertema dengan gambar tertentu yang dilengkapi narasi, sehingga dapat menjadi sarana belajar sambil bermain.
“Ada pula permainan ketangkasan untuk laki-laki, seperti pres-presan. Atau permainan khusus untuk perempuan, seperti boneka. Jadi mereka dapat memahami dunianya melalui permainan tradisional ini,” tutupnya. (Har/MAS)