KOTA MALANG – malangpagi.com
Padepokan Seni Mangundharna bakal menggelar pertunjukan Seni Topeng Malangan Klana Rangga Puspita bertajuk Sebuah Kisah Tentang Perjuangan Cinta Sejati, pada Jumat (07/03/2024) mendatang.
Pertunjukan yang bakal digelar di Padepokan Seni Mangudarmo, Jl. Raya Mangudarmo, Desa Tulus Besar, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang tersebut, mengisahkan tentang Rangga Klana dalam versi protagonis.
Sutradara dan Dalang dari Padepokan Seni Mangudarmo, Ki Sholeh Adi Pramono mengatakan pertunjukan topeng malang ini berbeda dari biasanya. Karena, lanjut Ki Sholeh, dalam pertunjukan tersebut nantinya akan menggabungkan 2 budaya, yakni budaya Bali dan Malangan atau Jawa.
“Dalam kisah ini, nantinya Rangga Klana yang biasanya dikenal dengan tokoh yang antagonis nantinya akan berubah versi menjadi tokoh yang protagonis. Tak hanya itu saja, dalam pertunjukan nantinya juga ada budaya Bali termasuk bahasa dan tariannya yang kita gabungkan dengan Malangan atau Jawa,” tutur Ki Sholeh saat Pers Confrence, bertempar di MCC, Sabtu (02/03/2024).
Tak hanya itu, nantinya Ki Sholeh juga menempatkan penonton satu area dengan pemeran pertunjukan topeng malangan tersebut. “Ini juga berbeda, penonton akan dijadikan satu area dengan panggung agar semua bisa merasakan emosional dari pertunjukan ini nantinya,” jelasnya.
Ki Sholeh menjelaskan dalam pengembangan alur drama Kelana Rangga Puspita, membangun konflik dari kisah orang tua dan anak dari kerajaan Singhasari dan Bali.
“Pertunjukan akan didukung oleh musik live dengan alat musik gamelan Jawa yang dipadukan dengan sentuhan Bali. Selain itu, Kelana Rangga Puspita juga berusaha membuka literasi sastra yang ada di Singosari, memperkenalkan cerita-cerita seperti Legenda Goa Polaman,” paparnya.
Selanjutnya, Pemeran Rangga Klana Puspita, Eko Ujang mengaku menghadapi banyak hambatan jelang pementasan tersebut. Dijelaskannya, ia harus mempelajari tari dan bahasa Bali untuk kebutuhan pertunjukan.
“Pertemuan budaya antara Singosari atau Malangan dan Bali membawa tantangan tersendiri. Usaha untuk menyatukan karakter keras dan maskulin antara Ronggo Puspita dari Bali dan Trunojoyo dari Singosari memerlukan upaya yang signifikan, karena semuanya telah nyaman dengan Malangan,” ujarnya.
Dirinya berharap berharap dapat memberikan pengalaman mendalam bagi penonton, sekaligus menggali sejarah dan literasi budaya yang sebelumnya belum terjamah. (YD)