KOTA MALANG – malangpagi.com
Polteknik Negeri Malang (Polinema) tengah dipastikan terkena denda yang jumlahnya mencapai ratusan juta rupiah, pasca hakim Mahkamah Agung (MA) RI mengabulkan gugatan warga sebagai pihak pemilik tanah yang dibeli oleh Polinema.
Gugatan ini dilakukan karena proses pembayaran jual beli tanah tersebut dihentikan oleh Direktur Polinema Periode 2021-2025, Supriatna.
Saat itu, macetnya proses jual beli itu dikarenakan pihak Direktur Polinema, Supriatna menuding adanya mark up harga yang dilakukan oleh mantan Direktur Polinema, Awan Setiawan yang menjabat pada periode 2017-2021.
Pengadaan tanah untuk pengembangan kampus tersebut dimulai sejak tahun 2019 dan telah mengacu pada Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah tahun 2019-2024, serta berdasarkan pada Rencana Induk Pengembangan (RIP) Polinema tahun 2010-2034.
Total tanah yang dibeli oleh Polinema mencapai 7.104 meter persegi (m²), dengan nilai total sebesar Rp 42.642.000.000. Sedangkan pembayaran hingga proyek pengadaan tanah itu macet, masih menyisakan 3 termin dengan nilai Rp 20 Miliar.
“Sebenarnya, anggaran tersebut sudah disiapkan Direktur Awan Setiawan dan siap bayar, karena telah masuk dalam SIRUP LKPP. Namun, hingga saat ini masih belum dibayarkan oleh Direktur Supriatna,” jelas Didik Lestariyono, pendamping hukum Direktur periode 2017-2021.
Alih-alih menuding adanya Mark Up harga hingga proses jual beli menjadi macet, pihak pemilik tanah malah memperkarakan hal itu. Pihak pemilik tanah yang merasa digantung, akhirnya menggugat Polinema secara perdata.
“Para pemilik tanah ini tahunya aset tanah yang dimiliki atau dijual sedang dalam proses pembayaran secara bertahap. Jika tiba-tiba diperkarakan secara hukum, mereka hanya ingin tanahnya segera dibayar,” ucapnya.
Dalam proses pengadilan yang mencapai tingkat kasasi di MA, gugatan para pemilik tanah tersebut dikabulkan seluruhnya oleh Majelis Hakim. Artinya, secara tidak langsung menyatakan bahwa proses pengadaan tanah yang dilakukan oleh Polinema telah sesuai prosedur.
Saat ini, program pengadaan tanah itu dilakukan saat Awan Setiawan masih aktif sebagai Direktur.
“Atas putusan tersebut, Polinema dinyatakan bersalah dan diberi hukuman. Dimana Polinema diwajibkan membayar sisa kekurangan pembayaran sebesar Rp 20 Miliar. Kedua, Polinema dihukum membayar denda mencapai ratusan juta,” paparnya.
Di sisi lain, Didik menilai, atas pertimbangan dan putusan hakim pada Mahkamah Agung tersebut, secara tidak langsung mengkonfirmasi bahwa proses pengadaan tanah Polinema telah memenuhi klausa halal dan berkaitan dengan dugaan yang menyeret kliennya ke perkara hukum atau tidak ada unsur perbuatan melawan hukum, apalagi korupsi.
“Sekarang, MA memutuskan bahwa transaksi jual beli tanahnya sah dan menghukum Polinema untuk membayar sisa kekurangan pembayaran atas tanah, artinya pengadaan tanah tersebut sudah sesuai prosedur. Hal itu secara otomatis menandakan bahwa tidak ada Mal administrasi, tidak ada mark up apalagi korupsi. Karena tidak mungkin Hakim MA mengabulkan gugatan yang didalamnya ada klausa tidak halal atau korupsi,” ungkap Didik.
Padahal, dana pengadaan tanah tersebut sudah disiapkan oleh Direktur sebelumnya, Awan Setiawan bersama tim yang dibentuk. Bahkan, telah disetujui dan masuk dalam DIPA tahun 2022-2023. Hanya saja, diduga dengan sengaja tidak dibayarkan oleh Direktur baru Supriyatna.
Terhadap putusan tersebut hingga berujung pada hukuman bagi Polinema untuk membayar denda ratusan juta, pihaknya menduga telah merugikan negara karena ada penyalahgunaan kewenangan.
“Kami masih mempertimbangkan untuk berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diharapkan akan memeriksa perkara ini. Selain itu, pertimbangan dan amar putusan MA tersebut akan kami jadikan bukti tambahan di Kejaksaan Tinggi sebagai salah satu bahan pertimbangan,” tandasnya.
Sementara itu, atas hal tersebut pihak Polinema masih belum memberikan keterangan resminya. Meskipun saat dihubungi telah merespon, namun masih belum ada pernyataan resmi untuk menyikapi perkara tersebut. (YD)