
KOTA MALANG – malangpagi.com
Sidang kasus dugaan kejahatan seksual yang menimpa Julianto Eka Putra (JEP), pendiri sekaligus pemilik Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) Kota Batu kembali disidangkan di Pengadilan Negeri Malang Kelas 1A, Rabu (9/3/2022).
Dalam persidangan yang beragendakan mendengar keterangan saksi tersebut, pihak kuasa hukum bersikukuh menyatakan kliennya tidak bersalah.
“Kami masih yakin klien kami [JEP] tidak bersalah, karena BAP (Berita Acara Pemeriksaan) tidak konsisten. Artinya, fakta di persidangan berbeda dengan BAP. Jadi BAP pertama dan kedua tidak sama. Setelah kami kejar agak gelagapan . Perbuatan itu [pdugaan pencabulan] belum terungkap dan tidak ada,” jelas salah kuasa hukum JAP, Jeffry Simatupang kepada wartawan
Menurutnya, hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa dalam persidangan dijelaskan dan diulang oleh majelis hakim, dalam kasus ini yang diduga korban hanya satu orang. “Jadi kalau ada pemberitaan korbannya ada empat puluh, bahkan lima puluh orang, itu bohong dan tidak benar,” tegasnya.
Jeffry menambahkan, hakim mengingatkan bahwa yang terpenting adalah dakwaan. Sedangkan menurutnya saksi yang diperiksa tidak terucap sekalipun di dalam dakwaan.
“Maka kami tidak tahu apa yang akan dibuktikan oleh saksi, dan kami menghargai persidangan yang luar biasa ini. Kami pun mengapresiasi dan berterimakasih karena hakim sangat bijaksana,” imbuhnya.
Di tempat yang sama, Philipus Harapenta Sitepu, yang juga kuasa hukum terdakwa mengatakan bahwa keterangan saksi berbeda antara satu dengan lainnya.
Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum Yogi Sudarsono, saat ditemui usai persidangan yang digelar secara tertutup, menyatakan apa yang disampaikan di persidangan sesuai dengan BAP. “Saksi menyampaikan keterangan dengan baik, dan apa yang diungkapkan cocok dengan BAP,” ungkapnya.
Yogi menjelaskan, terdapat 11 saksi yang akan dihadirkan untuk mengungkap dugaan kasus pencabulan ini, yang akan diagendakan setiap minggu.
“Untuk kasus ini, ada sekitar 11 saksi yang akan kami datangkan. Kami agendakan setiap minggu ada tiga saksi yang kami mintai keterangan. Untuk itu kita hormati jalannya persidangan,” pintanya.
Sementara itu, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait yang hadir mengikuti persidangan menyayangkan karena terdakwa tidak ditahan.
“Sayangnya, hingga saat ini terdakwa belum ditahan dan malah memakai pakaian biasa. Padahal sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, perbuatan terdakwa dapat dijerat dengan ancaman di atas lima tahun atau seumur hidup bahkan hukuman mati, jika itu dapat dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum,” paparnya.
“Harapan kami, dalam sidang ini tidak ada pembahasan mengenai eksploitasi ekonomi atau kekerasan fisik. Tapi dakwaan pada pasal 81 dan 82 dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016. Namun ini kenapa terdakwa belum ditahan? Ini ada apa? Itulah keberatan kami karena predator kejahatan seks harus mendapatkan hukuman setimpal,” lanjut Arist.
Dirinya mengungkapkan, pada awalnya Ia tidak diperkenankan mengikuti jalannya sidang oleh penasehat hukum terdakwa, dengan dalih persidangan dilaksanakan secara tertutup.
“Tetapi saya meyakinkan bahwa dalam PERNA Nomor 3 Tahun 2017 termasuk tata laksana dari Jaksa, bahwa pendamping bisa selain penasehat hukum tetapi juga orang tua dan sebagainya. Namun, saya gembira karena Majelis Hakim memberikan kesempatan kepada saya sebagai pendamping. Dan saya juga yang pertama kali melaporkan kasus ini bersama korban ke Polda Jatim,” pungkas Arist. (Har/MAS)