
JAKARTA – malangpagi.com
Kasus dugaan pelecehan seksual dan perundungan di kantor Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Jakarta memasuki babak baru. Korban berinisial MS akan dilaporkan balik atas dugaan pencemaran nama baik oleh pihak terlapor.
Dikutip dari CNN Indonesia, kuasa hukum terduga pelaku pelecehan seksual dan perundungan, RT dan EO, Tegar Putuhena mengatakan bahwa MS telah mengumbar identitas pribadi yang mengakibatkan cyber bullying, baik terhadap kliennya maupun keluarga mereka.
“Yang terjadi cyber bullying kepada klien kami dan keluarga termasuk anak mereka. Itu sudah keterlaluan menurut kami. Kami berpikir dan akan menimbang secara serius untuk melakukan pelaporan balik terhadap si pelapor,” kata Tegar di Mapolres Metro Jakarta Pusat, mengutip Antara, Senin (6/9).
Tegar Putuhena menilai, tuduhan yang dilayangkan MS tidak memiliki bukti kuat. “Sejauh ini yang kami temukan adalah peristiwa di tahun 2015 yang dituduhkan dan sudah viral itu tidak ada, dan tidak didukung oleh bukti apapun,” kata Tegar, dilansir oleh VOI, Senin (6/9/2021).
Di sisi lain, pengacara MS, Rony Hutahaen mengatakan, pernyataan kuasa hukum terduga pelaku yang menyatakan bahwa laporan MS ke Polres Jakarta Pusat tak didukung dengan bukti adalah tidak benar.
“Silakan saja dia (pihak terlapor) berargumentasi seperti apa. Tapi yang pasti kami memiliki alat bukti dan punya keyakinan bahwa ini akan diproses secara hukum,” terang Rony.
“Nanti kami akan serahkan (bukti) kepada kepolisian. Tapi saat ini akan kami serahkan terlebih dahulu kepada Komnas HAM,” ujarnya.
Sementara itu pengacara MS lainnya, Mualimin mengatakan, dalam kondisi seperti ini, justru korban yang harus mendapat pengawalan hukum penuh, bukan justru dilaporkan balik.
“Dia sudah berani speak up saja sudah sangat bagus. Dan kita harus berdiri bersama korban, agar kejadian serupa tidak terjadi lagi. Serta agar warga tahu bahwa negara akan selalu melindungi korban pelecehan seksual. Tidak ada toleransi,” tuturnya.
“Kami melihatnya sebagai upaya untuk menjatuhkan moral dan keberanian korban,” tegas Mualimin
Di tempat terpisah, pengacara publik LBH Jakarta, Aprillia Lisa Tengker mengungkapkan, korban pelecehan seksual yang speak up tidak bisa dilaporkan balik oleh pelaku.
Dikutip dari CNN Indonesia, Selasa (7/9/2021), Aprilia menjelaskan, ketentuan tersebut tertuang dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Pasal 10, yang berbunyi, “Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo Suroyo mengungkapkan, korban kasus pelecehan seksual dan perundungan kerap menjadi korban untuk kedua kalinya, karena pada saat melapor ke polisi mereka kemudian dilaporkan lagi oleh terduga pelaku.
“Maka dari itu, korban atau pengacaranya harus lebih waspada. UU ITE ini sudah banyak jatuh korban. Dalam kasus-kasus begini, sering kali korban jadi korban kembali dengan gugatan balik atau revictimisasi,” jelas Harto, dilansir dari VOI, Rabu (8/9/2021).
“Karena itu, korban mestinya segera bertindak. Kalau misalnya laporan kepolisian sudah dilakukan, selanjutnya jika membutuhkan perlindungan LPSK ya segera ke LPSK,” pungkasnya. (Gibran/MAS)