
KOTA MALANG – malangpagi.com
Reaksi masyarakat terus bermunculan, pasca disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU) Cipta Kerja dalam rapat paripurna DRP RI, Senin (5/10/2020) lalu.
Pro dan kontra seputar pengesahan RUU ini terus bermunculan. Berbagai bentuk penolakan terjadi, dari media sosial hingga unjuk rasa di sejumlah wilayah, yang tak sedikit yang berujung aksi anarkistis.
Dalam wawancara singkat dengan Malang Pagi, Kamis (8/10/2020), Chandra A Irawan yang berprofesi sebagai pengacara mengingatkan mahasiswa untuk mewaspadai potensi adanya penyusup.
“Teman-teman dari elemen mahasiswa harap selalu merapatkan barisan dan mengecek kanan kiri, untuk memastikan setiap pendemo harus memakai jaket almamater. Sehingga, jika ditemukan ada orang tidak dikenal segera dikeluarkan dari barisan, dan dilaporkan ke pihak kepolisian. Karena banyak peserta demo yang tidak beridentitas,” ujar anggota direktorat hukum Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Jawa Timur itu.
Ia juga berpendapat, ada jalur yang lebih elegan dibanding melakukan aksi demonstrasi yang berisiko berujung kericuhan. Yaitu dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Dikutip dari bisnis.com, dalam praktiknya, judicial review UU terhadap UUD 1945 dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sementara, pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA).
Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang. Yaitu:
- Perorangan warga negara Indonesia,
- Kesatuan masyarakat atau hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang,
- Badan hukum publik atau privat,
- Lembaga negara
Lalu bagaimanakah prosedur pengajuan judicial review?
Pengajuan permohonan Judicial Review ke MK, diajukan langsung ke Mahkamah Kontitusi Jakarta atau bisa mendaftar melalui Mahkamah Konstitusi.
Permohonan harus ditulis dengan bahasa Indonesia yang baku ditandatangani oleh pemohon atau kuasa, dan dibuat dalam 12 rangkap. Permohonan yang dibuat harus memuat jenis perkara yang dimaksud, disertai bukti pendukung yang sistematika, seperti identitas dan legal standing posita, posita petitum dan petitum.
Adapun prosedur pendaftaran sebagai berikut
Pemeriksaan permohonan kelengkapan panitera. Jika belum lengkap akan diberitahukan, dan wajib dilengkapi maksimal tujuh hari sejak diberitahu.
Registrasi harus sesuai dengan perkara. Dengan waktu tujuh hari sejak registrasi untuk perkara. Setelah berkas permohonan judicial review masuk, maka dalam 14 hari kerja setelah registrasi ditetapkan Hari Sidang I (kecuali perkara Perselisihan Hasil Pemilu) akan ditetapkan jadwal sidang. Para pihak berperkara kemudian diberitahu/dipanggil, dan jadwal sidang perkara tersebut diumumkan kepada masyarakat.
Perlu juga diketahui tentang pemberian salinan permohonan saat memasukan berkas permohonan ke MK untuk Pengujian Undang-Undang, serta salinan permohonan yang akan disampaikan kepada Presiden dan DPR.
Permohonan diberitahukan dahulu kepada Mahkamah Agung, mengenai dasar hukum pengujian formal undang-undang wewenang MK untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap konstitusi tercantum dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, ”Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.”
Syarat mutlak pengajuan judicial review ke MK, undang-undang harus terlebih dahulu secara resmi diundangkan, untuk mendapat nomer undang-undang dan dicatat dalam lembaran negara.
Sedangkan saat ini, UU Cipta Kerja baru saja disahkan, tetapi belum diundangkan. Karena harus melalui proses tandatangan Presiden. Sehingga belum bisa diajukan sebagai dasar pengajuan judicial review.
Reporter : Christ
Editor : MA Setiawan