KOTA MALANG – malangpagi.com
Wabah Corona Virus Disease (Covid-19) yang melanda dunia masih belum usai dan belum diketahui kapan akan berakhir. Menyikapi peristiwa pandemi ini, budayawan sekaligus seniman, Yongki Irawan berpendapat bahwa pandemi merupakan siklus kehidupan.
“Pandemi adalah siklus kehidupan yang diawali dengan kala mangsa, dan kita tidak dapat memprediksinya. Maka, jangan kaget jika tahun 1911-1916 Kota Malang kehilangan ribuan nyawa, dan kala itu dokter Belanda tidak bisa mengatasi,” ungkap pria yang akrab disapa Mbah Yongki itu, saat ditemui Malang Pagi beberapa waktu yang lalu.
Ia pun menambahkan, dahulu kala antara Pulau Jawa dan Sumatra pernah menjadi satu, dan kemudian terpisah akibat peristiwa meletusnya Gunung Karakatau pada tahun 1883.
Hal lain menurut Mbah Yongki yang menunjukkan terjadinya peristiwa alam tenggelamnya benua Atlantis. “Kejadian-kejadian itu adalah siklus kehidupan yang berulang,” imbuh penari senior Kota Malang itu.
Sementara itu, sejarawan kelahiran Kota Malang, FX Domini BB Hera membenarkan bahwa pandemi tidak hanya terjadi kali ini saja, namun sudah pernah menyerang dunia. Sebut saja pandemi Flu Spanyol dan pandemi regional wabah pes, yang embrionya berasal dari Malang hingga menghinggapi hampir seluruh wilayah Jawa.
“Dunia pernah mengalami pandemi yang ditandai dengan wabah Flu Spanyol sekitar 1918 hingga 1921. Selain itu juga ada wabah pes yang menjangkiti Malang antara 1911 hingga 1916,” jelas Sisco, panggilan akrab FX Domini BB Hera, Kamis (5/8/2021).
Sisco mengatakan, ledakan epidemi pes dipengaruhi kebijakan impor beras. Di mana beras itu didatangkan dari negara-negara yang sedang bermasalah, seperti Burma (Myanmar).
“Beras impor tersebut terkontaminasi bakteri Yersinia Pestis yang dibawa oleh kutu-kutu tikus. Setibanya di Tanjung Priok Surabaya, beras-beras itu kemudian dikirim ke Malang melewati Stasiun Lawang dan Stasiun Singosari. Di stasiun ini, beras-beras tersebut diturunkan ke gudang yang letaknya berdekatan dengan ruang penumpang,” jelasnya.
Alumnus program studi Ilmu Sejarah Universitas Negeri Malang itu menjelaskan, penularan wabah pes lantaran banyaknya tikus-tikus yang terinfeksi pes keluar dari gudang beras, lalu menuju ke area permukiman warga. Kebanyakan tikus-tikus mati di sela-sela bambu yang mengelilingi rumah penduduk.
Dalam buku “Kopi, Pagebluk, dan Kota” yang ditulis Pipit Anggraeni dan Aisah, disebutkan bahwa pes memiliki tiga jenis yang berbeda.
Pertama dikenal istilah pes bubo atau pes bisul, yang ditandai dengan benjolan berupa bisul di selangkangan, ketiak, dan leher. Jenis kedua dikenal sebagai pes paru-paru seperti TBC atau flu, yang bisa menyebar melalui udara.
Dan jenis pes ketiga yang lebih berbahaya adalah pes septikemi atau dikenal dengan pes darah. Varian dari pes ini membuat penderitanya mati sebelum muncul gejala. Karena begitu menjangkiti seseorang, bakteri langsung masuk ke aliran darah.
“Ketika wabah pes terjadi dengan segala variannya, tentu menyebabkan jatuh banyak korban. Pada tahun 1911-1912, kisaran korban ada 2.000 jiwa. Dan pada tahun 1913, jumlah kematian naik drastis hampir 6 kali lipat. Yakni mencapai 13.000 jiwa,” papar Sisco.
Pria yang pernah menjadi peneliti magang di Institut Sejarah Sosial Indonesia itu menambahkan, saat wabah pes melanda, Malang masih minim fasilitas kesehatan.
Rumah Sakit satu-satunya yang dapat menanganani pasien pes adalah Rumah Sakit Jiwa Lawang. Karena Rumah Sakit Lavalette baru berdiri tahun 1918, dan statusnya masih berupa klinik.
Menghadapi situasi Malang yang semakin genting, maka Pemerintah Hindia Belanda mengimbau kepada beberapa dokter Belanda untuk datang ke Malang. Namun, mayoritas dokter Belanda enggan untuk pergi. Kalaupun ada yang bersedia datang ke Malang, jumlahnya pun sangat sedikit.
“Dr. Tjipto lantas mengirimkan surat ke Pemerintah Hindia Belanda agar diizinkan untuk mengatasi wabah pes di Malang. Setelah mendapatkan izin, dokter lulusan STOVIA ini pun langsung terjun menangani wabah pes yang merajalela tanpa Alat Pelindung Diri (APD),” papar peneliti sejarah di Pusat Studi Budaya dan Laman Batas Universitas Brawijaya Malang.
Pagebluk yang pernah melanda Malang dan tanah Jawa seabad lalu merupakan mitigasi bencana non-struktural yang perlu dikenang. Saat pandemi hadir, keganasan pes menjadi suatu memori, agar masyarakat dapat lebih takut dan disiplin.
“Wabah Black Death yang pernah menyerang Eropa menjadi suatu memori luar biasa. Bayangkan, sepertiga populasi Eropa hilang karena wabah ini. Penguburan massal dilakukan, bahkan hingga jenazah dimakamkan di dalam dinding gereja di Perancis Selatan,” tutur Sisco.
“Kisah ini menjadi salah satu sejarah terkelam Eropa. Untuk mengenang peristiwa itu, Sejumlah negara Eropa membuat monumen untuk memperingati wabah tersebut,” lanjutnya.
Kejadian pagebluk berulang pada 2020. Wabah Covid-19 melanda dunia termasuk Indonesia. Kejadian ini merupakan suatu bukti, bahwa siklus kehidupan sedang berjalan.
“Pandemi ini sudah pernah terjadi. Hanya ruang dan jenisnya berbeda. Hemat saya, sebaiknya dibangun monumen sebagai tetenger. Bahwa bencana luar biasa pernah terjadi,” jelas Sisco.
“Semisal, Pemerintah Kota Malang membangun Monumen Dr. Tjipto sedang menggendong bayi perempuan yang Ia selamatkan di Malang, yang kemudian diberi nama Pesjati (baca: Pesyati, 1910-2005). Selain sebagai penghargaan atas jasa-jasa Dr. Tjipto, tentu monumen tersebut juga sebagai pengingat bahwa pagebluk pernah terjadi. Ini adalah sebagai bentuk mitigasi bencana non-struktural,” tutupnya. (Har/MAS)