KOTA MALANG – malangpagi.com
Klarifikasi Pemkot Malang terkait dicetuskannya istilah ‘Malang Halal’, tak lantas membuat masyarakat puas. Hingga detik ini, istilah tersebut masih menimbulkan pro kontra. Reaksi pun ditunjukkan sebagian pihak, termasuk oleh mereka yang tegas menolak kebijakan tersebut.
Salah satu penolakan serius datang dari Presidium Dewan Kampung Nusantara, yang disampaikan Bambang Gatot Wahyudi. Pihaknya mengaku tidak terjebak dalam konteks perubahan kosakata. Namun merasakan keresahan akan esensinya.
“Diksi kata kuncinya adalah halal. Maka pertanyaan saya, halal dalam konteks ini apa ukurannya? Siapa yang punya kelayakan untuk menentukan halal dan tidaknya? Lalu, menjadi keputusan politik maupun hukum, sanksi kehalalan dan tidak itu apa?” ujar pria yang biasa disapa Bambang GW itu, Rabu (23/2022).
Dirinya menyebut, banyak yang harus dipikirkan.” Saat ini mereka berbicara tentang halal itu di dalam konteks makanan dan minuman. Tetapi apakah hal tersebut nantinya tidak menganggu dalam konteks gaya hidup?” tanyanya.
Dirinya menyebut ada sejulah hal yang perlu dicerna. Dalam terminologi Islam, tuturnya, istilah halal tidak berdiri sendiri. “Karena kata halal itu hanya berhenti di kata ‘boleh’. Boleh yang benar bahasa arabnya ‘thoyib‘, berarti halal thoyibah. Ketika kita ngomong ‘boleh’ saja dapat menimbulkan perdebatan, apalagi ngomong ‘benar’. Makanya, ini adalah sebuah diksi yang menganggu kebatinan kami sebagai orang Malang,” ujarnya.
Menurut Bambang GW, Kebijakan Malang Halal tentunya melewati sebuah kajian. Namun seyogyanya harus memahami sejarah tentang Malang. Terutama tentang peta geografis yang beragam dan penuh toleransi, termasuk peta sosialnya.
“Dengan adanya slogan Malangkuçeçwara, lantas sekarang ditimpali dengan ‘Malang Halal’, hal itu justru tidak nyambung. Ketika hal tersebut dipaksakan, Walikota Malang disinyalir telah mengkhianati slogan Malang itu sendiri,” tukasnya.
Bambang GW berharap Walikota dan DPRD Kota Malang segera mencabut kebijakan ‘Malang Halal’, agar polemik yang ditimbulkan tidak berkepanjangan. Ia pun mengingatkan, bahwa keputusan politik memiliki konsekuensi politik pula.
“Somasi itu sifatnya ke arah kebijakan. Gugatan untuk membatalkan putusan dalam konteks hukum. Sedangkan konsekuensi politik, hal terburuknya jika masa sudah bergerak besar-besaran. Tentu akan berpengaruh pada karier politik seseorang,” jelasnya.
Terakhir, Bambang GW berpesan kepada para legislator, untuk senantiasa mendengarkan gejolak yang terjadi di masyarakat. Dirinya pun meminta aspirasi itu ditangkap dan rumuskan dalam keputusan politik.
“Terkait ‘Malang Halal’, sebaiknya Walikota turun menemui masyarakat yang mengkritisi gagasan tersebut. Namun jangan sampai pertemuan itu mencoba untuk mengapologi pernyataan, bahkan seolah-olah cari pembenaran,” tandasnya. (DK99/Red)