KOTA MALANG – malangpagi. com
Program Gelis Maca, yang bertujuan meningkatkan minat baca di 15 Rumah Pintar pinggiran Kota Malang, menyoroti penulisan biografi PJ Walikota Malang, Wahyu Hidayat.
Kegiatan ini melibatkan anak-anak usia sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama, dan menghasilkan karya biografi berjudul “Dari Rotterdam ke Malang.”
Dalam kegiatan ini hadir Ari Ambarwati, dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Malang sebagai pembimbing penulisan biografi.
Ambar yang juga merupakan peneliti dan penulis bacaan anak-remaja serta pengajar sastra, memiliki kecintaan yang mendalam terhadap bahasa dan penulisan. Sejak masa kuliah Ia menyadari bahwa banyak orang di sekitarnya merasa bahwa belajar bahasa Indonesia itu membosankan dan tidak disukai.
Hal itu mendorongnya untuk melakukan lebih banyak hal melalui bahasa Indonesia, meskipun latar belakang pendidikannya adalah bahasa Inggris murni.
“Saya melihat banyak orang yang menganggap belajar bahasa Indonesia membosankan. Padahal banyak hal yang bisa kita lakukan dan capai melalui bahasa kita sendiri,” ujar Ambar kepada Malang Pagi, Senin (10/6/2024).
Sejak kuliah, Ambar tercatat aktif di pers kampus dan menjabat sebagai Redaktur Pelaksana. Ia pun pernah melakukan wawancara dengan sastrawan Pramudya Ananta Toer, dan kemudian bergabung di tabloid GO sebagai wartawan olahraga.
Ambar juga pernah menjadi Kepala Sekolah di SMA Wahid Hasyim (SMA Islam Nusantara), di mana Ia melihat banyak siswa yang tidak mengenal kuliner tradisional. Fakta tersebut kemudian mendorongnya untuk menyusun buku teks SMA berkonten pangan lokal nusantara, dengan judul “Nusantara dalam Piringku”.
“Pengalaman di pers kampus dan dunia jurnalistik telah mengasah kemampuan saya dalam menulis. Sementara sebagai Kepala Sekolah, saya terdorong untuk mengenalkan kekayaan kuliner lokal kepada siswa,” ungkapnya.
Dalam kegiatan penulisan biografi Pj Walikota Malang ini, Ambar memberikan workshop kepada 15 pemustaka anak. Dirinya mendorong anak-anak untuk bebas bertanya tanpa intervensi orangtua. Sehingga mereka dapat mengungkapkan pengalaman pribadi tokoh yang ditulis.
Menurutnya, tantangan terbesar yang dihadapi adalah menghadapi anak-anak yang pendiam dan jarang berinteraksi, meskipun mereka memiliki ide tulisan yang luar biasa. Contohnya, dalam penulisan judul yang berima dan ide-ide yang jarang diketahui orang.
“Saya selalu mendorong anak-anak untuk bebas bertanya dan mengekspresikan diri tanpa rasa takut. Karena dari pertanyaan-pertanyaan itulah lahir ide-ide tulisan yang luar biasa,” jelas Ambar.
Salah satu momen berkesan selama pendampingan adalah ketika anak-anak menanyakan hal-hal unik yang tidak terpikirkan oleh orang dewasa, seperti apakah Pak Wali tinggi karena suka berenang atau melompat-lompat?
Ambar mengaku dirinya termasuk orang yang tidak percaya bahwa literasi di Indonesia menurun. Baginya, pemahaman orangtua bahwa membaca harus melalui buku fisik adalah salah kaprah. Karena buku digital pun terbukti mampu meningkatkan minat literasi.
“Anak-anak memiliki cara pandang yang unik dan pertanyaan-pertanyaan mereka sering kali tidak terpikirkan oleh orang dewasa. Ini menunjukkan betapa kreatifnya mereka,” tambahnya.
Melalui gerakan literasi nasional, bacaan anak saat ini jauh lebih bagus dibanding sebelumnya. Di Kota Malang sendiri, terdapat 15 Rumah Pintar yang mendukung hal ini. Namun, kemudahan akses gawai dengan video pendek seringkali mengurangi gairah membaca anak-anak.
“Literasi anak saat ini jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya. Namun kita perlu mengimbangi kemudahan akses digital dengan dorongan kuat untuk membaca,” tegas Ambar.
Ambar menekankan bahwa anak-anak perlu terbiasa bercerita dan menarasikan hal-hal terdekat di lingkungan mereka dengan cara mereka sendiri, sehingga mereka dapat menyampaikan secara menarik. Hal itu memungkinkan banyak orang belajar sejarah dan budaya daerah tanpa harus selalu ke museum.
“Anak-anak perlu bercerita dan menarasikan lingkungan mereka dengan cara mereka sendiri. Ini bukan hanya melatih kemampuan menulis, tetapi juga membantu orang lain memahami sejarah dan budaya daerah mereka,” tutupnya. (Dsy/YD)